Kolaka kabartimur- Sekretaris Jenderal DEWAN PIMPIN PUSAT FRAKSI (Front Gerakan Aktivis Indonesia), Muh. Awaluddin Mangantarang, Awal Sapaan akrabnya, merespon situasi politik Nasional, ia mengatakan maraknya aksi protes terkait kekalahan dalam pilkada serentak 2018 membuat potensi aksi anarkis, hal itu tidak di benarkan secara hukum, sebab cara cara seperti itu tak lebih sebagai sebuah upaya PROVOKATIF membuat Proses pilkada agar tidak aman dan kondusif, Ini bahkan Dapat di Proses secara hukum, jika Salah satu paslon merasa tidak puas silahkan lakukan upaya hukum secara konstitusional, juga mewarning Penyelenggara yaitu KPU dan Panwaslu untuk tidak bermain di air yang keruh. Seperti demo meminta diskualifikasi paslon tertentu di beberapa daerah misalnya di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Syarat diskualifikasi ada aturan mainnya, KPU atau Panwaslu jangan bertindak gegabah, jika bertindak tidak sesuai konstitusi ada konsekwensi hukumnya, termaksud penyelenggara bisa kena sanksi pidana sebagaimana di atur UU no.10 tahun 2016 tetang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota pilkada (UU Pilkada) dan Peraturan DKPP No.2 Tahun Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Prilaku Penyelenggara Pemilihan Umum. “Kata Aktivis Nasional tersebut.”
Lebih lanjut Awal menjelaskan, “Saya mengutip pernyataan Juru bicara Mahkamah Konstitusi Bang Fajar Laksono (Jubir MK) menjelaskan kepada Kami, Barusan komunikasi via telepon, bang Fajar menjelaskan kepada kami bahwa selisih perolehan hasil suara merupakan salah satu syarat bagi pasangan calon yang ingin mengajukan permohonan gugatan perkara Pilkada, dalam pasal 158 UU 8/2015 tentang Pilkada disebutkan mengenai syarat pengajuan gugatan hasil Pilkada, yaitu selisih suara minimal di bawah dua persen”.
Awal menyampaikan, dalam pemilihan pilkada, ada empat kategori syarat mengajukan sengketa Pilkada. Kategori pertama yaitu daerah dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 2 juta jiwa. Syaratnya adalah selisih suara sebesar dua persen. Sedangkan daerah dengan jumlah penduduk 2 juta hingga 6 juta jiwa persentase selisihnya 1,5 persen. Jumlah penduduk 6 juta sampai 12 juta jiwa, selisihnya satu persen.
“Kalau penduduknya lebih dari 12 juta selisihnya setengah persen,”Minggu(2/7). Dalam pemilihan wali kota atau bupati juga terdapat empat kategori syarat pengajuan sengketa. Untuk daerah dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 250 ribu jiwa syaratnya harus selisih dua persen suara. Sedangkan daerah dengan penduduk mencapai 250 ribu hingga 500 ribu jiwa persentasenya 1,5 persen.
Kategori ketiga berlaku untuk daerah dengan jumlah penduduk 500 ribu hingga 1 juta jiwa yang mensyaratkan selisih satu persen. Untuk daerah yang penduduknya lebih dari 1 juta jiwa selisihnya setengah persen. Sementara dalam penghitungannya, lanjut Awal, persentase selisih tersebut dikali dengan jumlah suara sah.
“Misalkan Banten jumlah penduduknya enam juta berarti 1,5 persen, nah 1,5 persen itu dikali jumlah total suara sahnya,” tutur Awal. “Katakanlah 1000. Sekarang selisih perolehan paslonnya berapa, kalau kurang atau sama dengan 1000 boleh melaporkan tapi kalau lebih dari 1000 tidak memenuhi syarat,” tambahnya.
Selain selisih suara, syarat lainnya yang harus dipenuhi adalah gugatan harus berasal dari pasangan calon dan melakukan pendaftaran sesuai dengan waktu yang sudah ditetapkan.
“Permohonan diajukan oleh pasangan calon, karena yang punya legal standing hanya pasangan calon. Terakhir soal tenggat waktu,” kata Awal. Syarat berikutnya adalah tenggat waktu. Apabila pemohon mengajukan gugatan melebihi tenggat waktu, gugatan tersebut tetap diterima di kepaniteraan. Namun permohonan gugatan tidak akan dilanjutkan apabila dalam proses telaah, pendaftarannya melampaui tenggat waktu.”(*)