Konflik Tapal Batas dan Hak Ulayat Marak di Papua, Akademisi Unipa Tawarkan Konsep Ini

MANOKWARI- Akademisi Universitas Papua (Unipa) Manokwari, Wiem Burung angkat bicara terkait konflik soal tapal batas maupun hak ulayat yang masih sering terjadi di dalam masyarakat adat Papua.

Tidak bisa dipungkiri lagi konflik yang berlarut-larut telah menempatkan masyarakat adat dalam kondisi yang rentan secara sosial ekonomi bahkan berpotensi menimbulkan perpecahan meskipun sejatinya mereka adalah saudara.

Berkaca dari situasi demikian, Wiem berpandangan, setidaknya ada tiga langkah yang perlu dilakukan demi menekan potensi terjadinya konflik komunal karena persoalan tapal batas maupun hak ulayat.

Pertama, dalam melaksanakan tugas pokok yakni menyelenggarakan pemerintahan, menjalankan pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan, pemerintah daerah harus berlaku adil dengan tetap berpedoman pada aturan perundang-undangan yang berlaku.

Kedua, Dewan Adat Papua (DAP) dalam menjalankan tugasnya harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya orang Papua juga kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat adat masing-masing.

Baca Juga :   Stres, Warga Toraja Utara Gantung Diri

Ketiga untuk akademisi atau cendekiawan, agar tetap melakukan penelitian dan kajian-kajian secara ilmiah maupun historis yang ke depan bisa dipergunakan sebagai bahan acuan dalam melakukan mediasi maupun klarifikasi dengan semua pihak yang terlibat konflik.

“Karenanya pemerintah dalam hal ini tidak bisa bekerja sendiri. Harus bergeral bersama-sama dengan DAP dan akademisi, “ kata Wiem dalam siaran pers yang diterima redaksi kabartimur.com,Kamis 14/6/2018.

Dosen jebolan Oxford Univercity ini mengatakan, Pemda harus mengambil inisiatif untuk mengikutsertakan DAP dan akademisi manakala terjadi konflik terkait tapal batas maupun hak ulayat. Ketiga komponen itu harus bermitra untuk mencari jalan keluar menyelesaikan konflik masyarakat adat.

“Kombinasi antara Pemda, DAP dengan akademisi harus ada supaya bisa diperoleh solusi yang paling tepat untuk menyudahi konflik yang melibatkan masyarakat adat, “imbuh Wiem. (DIY)

Pos terkait