RANTEPAO– Seorang warga berinisial L dan anaknya A, nyonyor dihajar warga dalam sebuah ritus adat Rambu Solo’ di Kecamatan Buntao’, Toraja Utara, Sabtu (5/8) sore. Ihwal kejadian ini bermula ketika L ngotot dan menantang seorang pemuka adat setempat, Pong Barumbun yang hendak menenangkannya dalam sebuah keributan.
Ketika itu L berselisih paham dengan warga lain dalam acara ma’paramisi, atau adu ayam yg merupakan pelengkap ritus rambu solo’ usai tahap pemakaman.
Perselisihan itu membuat beberapa tokoh adat dan pemuda turun tangan. Namun suasana tetap memanas. Ketika Pong Barumbun menghampiri L yang terus menerus ngotot, L justru balik menantang dan minta dipukuli. Ia juga memanggil tokoh adat ini dengan panggilan “iko” atau kau, ungkapan yang dianggap tidak pantas dialamatkan terhadap tokoh adat bagi masyarakat Buntao’.
Alhasil, L mendapat batunya. Pong Barumbun yang terlanjur kesal langsung membogem pria ini. Sekumpulan anak muda yang ikut tersinggung mendengar kata-kata yang dianggap menghina dan tak sopan L pun langsung menyerang. L dipukuli sembari dikejar massa. Rupanya anak L, A, ada di lokasi. Ia balik memukul seorang penyerang ayahnya, yang kontan membuat masalah baru. Ia menjadi sasaran kemarahan warga yang memukulnya hingga babak belur.
L yang diamankan seorang warga di depan lumbung tampaknya masih tidak terima. Salah satu anak Pong Barumbun, Barumbun, pun menghajarnya dengan satu pukulan telak yg mendarat di rahangnya. Membuat pria botak ini terjungkal ke belakang. Beruntung ia segera dipegang seorang warga yang membuatnya tidak langsung tersungkur di tanah. Hidungnya berlumuran darah dan langsung keluar dari lokasi ritus tanpa banyak kata-kata.
Menurut seorang pemuda yang ikut memukuli L, L memang terkesan sering bersikap tempramental dan menantang duel siapapun di arena sabung ayam. “Hari ini dia salah orang. Kami menghormati Pong Barumbun seperti ayah kami. Orang yang sudah beruban saja di Buntao’ sungkan memanggilnya ‘iko’. Apalagi dia bukan warga di sini. Tidak tahu adat,” ujarnya kesal.
Masalah ini sudah diselesaikan para pemuka adat pada malam hari. Ritus ma’paramisi juga diputuskan dihentikan oleh para pemuka bersama keluarga untuk mencegah terjadinya keributan. (*)