Praktisi Hukum: Kenapa Wartawan Dijadikan Saksi Sebelum Meminta Pertimbangan Dewan Pers

MANOKWARI— Kapolda Papua Barat Brigjen Polisi Hery Rudolf Nahak diminta memeriksa sejumlah penyidik Polres Manokwari yang melakukan pemeriksaan terhadap jurnalis Cahaya Papua dalam insiden pembakaran Bendera Merah Putih saat aksi demo 19 Agustus 2019 lalu.

Praktisi Hukum Manokwari, Rustam SH, mengatakan, pemeriksaan terhadap wartawan dalam kaitan dengan kerja-kerjanya sebagai jurnalis, harus melalui prosedur, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

Rustam menyatakan hal ini menanggapi adanya kesan pemaksaan terhadap jurnalis sebagai saksi dalam kasus pembakaran bendera Merah Putih akhir Agustus lalu, tanpa berkoordinasi lebih dulu dengan Dewan Pers.

“Saya kira pekerja pers dalam menjalankan tugasnya diatur oleh UU. Karena itu seharusnya penyidik kepolisian berkordinasi kepada pihak yang memiliki kewenangan seperti Dewan Pers sebelum memulai pemeriksaan terhadap Jurnalis Cahaya Papua, Lisna Baroallo dan temannya saat itu,” kata Rustam SH saat ditemui, Kamis (21/11).

Baca Juga :   Berantas Pungli di Wondama, Tim Saber Pungli Tak Segan Lakukan OTT

Meski demikian ia tidak bisa memungkiri bahwa setiap warga negara Indonesia sama dimata hukum. Artinya bahwa sah-sah saja jurnalis atau siapapun diperiksa apalagi berkaitan dengan sebuah peristiwa. Namun ia mempertanyakan apakah penyidik kepolisian sudah melakukan koordinasi dengan pihak-pihak lain sebagaimana di dalam UU Pers maupun peraturan Dewan Pers dan juga memperhatikan MoU antara Dewan Pers dengan Kepolisian.

“Kan ada MoU antara Dewan Pers dengan Kepolisian. Nah itu yang harus diperhatikan oleh penyidik sebelum mengambil langkah,” jelasnya.

Sebelumnya Jurnalis Cahaya Papua, Lisna Baroallo mendatangi kantor Kejaksaan Manokwari, Rabu (20/11). Ia hendak menarik kembali BAP sebagai saksi dalam kasus dugaan pembakaran bendera.

Hal ini karena ia merasa kecewa dengan perlakuan penyidik saat ia dipanggil dan diperiksa dalam kasus pembakaran Bendera Merah Putih saat insiden 19 Agustus 2019 lalu.

Baca Juga :   Virus ASF, Dinas PKH Papua Barat Sisir Kampung Lakukan Edukasi, Pengobatan dan Pengambilan Sampel Ternak Babi

“Saya malam-malam didatangi penyidik, dipaksa menyerahkan HP tanpa ada surat penyitaan. Hanya surat terima itu pun belakangan baru saya diberikan surat tanda terima,” kata Lisna Baroallo.
Selain itu, menurut Lisna sebagai saksi dia merasa terancam, karena yang beredar di kalangan keluarga terdakwa pembakaran bendera, dia merupakan orang yang membuat laporan adanya pembakaran bendera itu. Padahal faktanya saat itu bersama rekannya hanya melakukan liputan insiden tersebut.

“Terus terang, saya ini seakan-akan dijebak, sebab awalnya saya dipanggil sebagai saksi di lapangan, namun ada kesan saya sebagai pelapor dalam peristiwa itu. Ini tidak benar,” tegasnya.

Sebelumnya, Dewan Pers telah melayangkan surat kepada Kapolres Manokwari mengenai masalah tersebut. Surat dengan Nomor 781/DP/K/X/2019 ditujukan kepada Kapolres Manokwari pada tanggal 17 Oktober 2019 lalu.

“Belum ada tanggapan dari pihak Kapolres Manokwari perihal surat tersebut,” kata Ketua Komisi Hukum Dewan Persl, Agung, saat dihubungi secara terpisah. (*)

Pos terkait