Rika Rumadas memimpin gerakan pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi kawasan mangrove di kampungnya, Wamesa, Manokwari. Cibiran dan penggusuran tak mematahkan tekadnya menghijaukan kawasan yang rusak dengan bakau.
Oleh : Lisna Boroallo
Ombak memukul garis pantai di Kampung Wamesa, Jumat akhir Juli lalu. Jauh ke utara, awan mulai menggulung di punggung Bukit Arfai. Rika Rumadas 58 tahun bergegas menyingkirkan koker –polybag berisi bibit bakau- yang tergeletak di atas tanah berpasir. Ia khawatir wadah plastik untuk menyemai benih bakau itu porak poranda diterbangkan angin.
Dengan jarak tempuh tak lebih dari 2 jam dari pusat kota Manokwari, kawasan pesisir yang terletak di Distrik Manokwari Selatan, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat ini yang menjadi saksi perjuangan Rika bersama warga kampung untuk mempertahankan 60 persen kawasan hutan mangrove yang tersisa di Manokwari.
Upaya itu dilakukan sejak 2012. Rika tidak saja berperan merawat dan menghijaukan kawasan yang menjadi lumbung pangan bagi masyarakat pesisir itu tetapi juga menjaga kampung Wamesa dari ancaman abrasi. Kawasan hutan mangrove yang didominasi bakau juga menjadi sabuk pengaman bagi warga dari bencana alam seperti tsunami.
Rika adalah ketua Kelompok Mangrove Wamesa. Sebuah komunitas yang beranggotakan sembilan perempuan kampung dan seorang laki-laki yang konsisten melakukan pembibitan dan penanaman bakau di Manokwari. Kelompok ini juga menjadi penyedia bibit bakau yang kadang dicari beberapa instansi atau lembaga yang mengadakan penanaman di lokasi lain.
“Kalau peringatan hari lingkungan atau hari mangrove internasional, pesanan banyak. Harganya 10 ribu sampai 30 ibu per bibit, tergantung usia pohon. Sekarang ada juga yang ditanam untuk ganti bibit yang sudah dipesan,” kata Rika. Menurut Rika, pesanan terakhir datang dari sebuah komunitas yang menggelar sebuah acara penanaman bakau. Komunitas ini memesan sekitar 1.500 bibit bakau.
Setengah penghasilan yang didapatkan dari penjualan bibit disimpan dalam kas kelompok. Setengahnya lagi dibagi rata untuk mereka yang terlibat menanam. Dengan kata lain usaha penyediaan bibit ini juga menjadi sumber penghasilan tambahan keluarga.
“Lumayan buat tambah-tambah. Anak-anak bisa pakai sekolah dan kebutuhan lain,” kata Rika yang juga menyediakan waktu luangnya sebagai pengasuh sekolah minggu dan pengelolah taman kanak-kanak dan lembaga pendidikan usia dini TK/PAUD Wamesa Ceria di kampungnya.
Sejak awal , Rika benar-benar serius belajar bersama lembaga swadaya masyarakat yang ikut berkontribusi mengembangkan kapasitas warga setempat melalui kegiatan konservasi.
“Tahun 2012 sampai 2015, kami mulai belajar. Termasuk belajar soal manfaat dan cara pembibitan serta penanaman dan perawatan. Kami bibit sambil tanam. Begitu terus. Tapi sesudah itu, karena yang disemai terlalu banyak, akhirnya kami tanam semua. Setelah LSM yang mendampingi masyarakat putus kontrak, gerakan kami lanjutkan. Bibit yang tumbuh bagus-bagus,” ujarnya.
Gerakan Rika dan komunitasnya bukan tanpa halangan. Pada 2017, misalnya, ada beberapa lokasi yang berbatasan dengan kawasan Teluk Cenderawasih digusur untuk dikembangkan pemiliknya. Peristiwa tersebut menurut Rika diakui benar-benar memukul moril dirinya dan warga yang bersemangat melakukan penanaman bakau.
Tapi Rika sadar, jika terus bersikap defensif, kawasan yang tersisa akan bernasib sama. Pada 2018 mereka bangkit lagi dan bahkan jauh lebih progresif. “Pokoknya kami tanam sampai tidak ada lagi lahan yang kosong. Kita tanami semua,” ujar ibu tiga anak yang juga telah dikaruniai tiga cucu ini.
Menurut Rika, kendala lain yang dihadapi, belum semua masyarakat sadar soal pentingnya bakau, terutama yang tidak lagi memiliki ketergantungan terhadap hasil alam di sekitar kawasan mangrove. Selain itu para pegiatnya juga mendapat hambatan dari keluarga dan sempitnya curahan waktu.
Dukungan mulai mengalir kembali ketika warga melihat adanya nilai ekonomis secara langsung dari bakau ini, misalnya saat bibit dibeli. “Kitong (kita) koker sampai tengah malam baru pulang ke rumah. Di sela itu juga cari kerang, ikan atau apa saja yang bisa dibawa pulang untuk makan. Keluarga juga kadang tegur. “Rika, kamorang (kamu) ini sombong-sombong mau jadi pahlawan lingkungan kah? Tapi saya mengabaikan ucapan mereka, ” kisah Rika tertawa sembari merapikan rambut ikalnya yang ditiup angin yang bergemuruh datang dari arah pantai.
Oase di Pesisir
Kegigihan Rika dan kaum perempuan di kampung Wamesa dalam menjaga lingkungan alam diakui oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Kabupaten Manokwari, Yonadap Sraun. Menurut Yonadap, selain karena kesadaran akan ancaman abrasi, tsunami, dan penyediaan pangan, secara turun temurun perempuan Papua di kawasan pesisir memang tidak bisa dipisahkan dengan hutan mangrove.
“Dari aspek budaya masyarakat pesisir, pengelolaan mangrove 80 persen dilakukan oleh perempuan. Mereka berperan langsung dan memiliki ketergantungan yang kuat, karena di situ ada kebutuhan dapur seperti kerang, ikan, kepiting dan biota laut yang bernilai ekonomis lainnya atau sekedar kayu bakar. Laki-laki secara tradisional tugasnya berburu, menjaga keamanan atau kerja yang berat-berat.” ujarnya.
Masyarakat di Papua Barat, kata Yonadap, mempunyai hubungan yang erat dengan alam. “Mereka telah melakukan pengelolaan pesisir dan sumberdaya alamnya secara tradisi dan budaya. Mereka Menganggap bahwa alam itu ibu, karena alam menjadi sumber kehidupan dimana masyarakat papua barat dapat hidup darinya,” ujar Yonadap.
Tahun ini, melalui instansi yang dipimpinnya, Yonadap mengorganisir 38 komunitas peduli lingkungan di Manokwari yang kelak diharapkan ikut berkontribusi bagi upaya pelestarian atau rehabilitasi kawasan mangrove. “Kami akui belum bisa berbuat banyak karena dari sisi anggaran ada refocusing untuk penanggulangan Covid-19,” katanya.
Upaya Rika dan warga Kampung Wamesa yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan dan petani merupakan satu inisiatif yang benar-benar bagaikan menciptakan oase di tengah padang pasir. Betapa tidak, menurut data Badan Pangan Dunia (FAO), luasan hutan mangrove di Indonesia terus menyusut, sehingga kini yang tersisa 3,2 juta hektare. Kabupaten Manokwari sendiri memiliki luas lahan mangrove 392,36 hektare sementara di distrik Manokwari Selatan hutan mangrove primer tersisa 102.53 hektare dan mangrove sekunder seluas 49,18 hektare.
Di Manokwari, penurunan luas hutan terjadi pada umumnya akibat kebutuhan ruang untuk pemukiman di pesisir pantai dan penebangan yang tak terkendali serta abrasi. Manokwari Selatan kini menjadi salah satu wilayah yang disasar untuk pengembangan pemukiman, terutama setelah pusat-pusat layanan pemerintahan bergeser ke wilayah ini.
Kepala Kampung Wamesa, Tarkus Rumbobiar mengatakan pihaknya hanya sanggup mengalokasikan anggaran secukupnya dari dana desa untuk menyokong inisiatif warganya. “Dana desa kebanyakan untuk pembangunan sarana dan prasaran kampung, kantor balai kampung, jalan dan lain-lain. Tapi kami syukuri karena kegiatan mama Rika bisa membantu perekonomian keluarga dan masyarakat yang terlibat,” katanya.
Tarkus berharap ada lebih banyak program yang digelontorkan pemerintah ke kampung Wamesa yang terbentuk sejak 21 Mei 1999. Apalagi Kampung Wamesa hanya berjarak 23 kilometer dari pusat kota dan kini juga disasar sebagai pusat pemukiman baru di Manokwari, sebuah hal yang tentu akan beriringan dengan besarnya ancaman dan tekanan terhadap kawasan mangrove.
Merawat Kehidupan
Hingga saat ini Mama Rika demikian Rika dipanggil- dan kelompoknya sudah menanam sekitar 32.000 ribu bibit di atas lahan kurang lebih 10 hektare. Pembibitan di lakukan tak jauh dari pantai, pada beberapa titik yang secara keseluruhan kurang lebih seluas satu hektare.
Rika berharap kelak pemerintah daerah lebih peduli, perhatian dan mengembangkan kawasan ini tanpa harus merusak kelestarian kawasan mangrove. Ia juga menyesalkan banyaknya tangan jahil yang merusak kawasan yang sudah direhabilitasi dengan cara mencabut bibit yang sudah tumbuh.
“Akan sangat bagus kalau lahan yang benar-benar dikelolah pemerintah dibebaskan untuk kawasan wisata mangrove. Jadi kampung dan pemerintah bisa mendapat penghasilan lain dari jasa lingkungan pada kawasan mangrove,” ujarnya “Masyarakat juga bisa diberdayakan,” lanjut Rika lagi.
Saat menyusuri ruas jalan rabat di areal kampung menuju lokasi pembibitan, tampak benar kesungguhan Rika dalam memimpin gerakan dan upaya pemberdayaan warga melalui penanaman bakau. Ia sesekali menyapa warga yang berpapasan dengan kami.
Rika terus belajar hal apa pun berkaitan dengan yang ia lakukan itu. Ia memahami hal-hal teknis pembibitan, aspek praktis pengorganisasian masyarakat, dan memiliki kepemimpinan yang kuat, meski hanya jebolan SMEA.
“Apa yang kita lakukan harus benar-benar didasarkan pada panggilan hati. Jangan kita berpikir sempit untuk kawasan Bakau di kampung ini. Tetapi upaya ini bisa dilakukan juga oleh mama-mama lain di kampung yang berbeda. Merawat bakau bagi perempuan pesisir di Papua, sudah kewajiban. Bedanya mungkin saya dikenal karena pernah diberitakan oleh media, mama-mama lain bekerja dengan sunyi dan penuh tantangan di tempat lain,” katanya merendah.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Papua Barat, Charlie D Heatubun, menyebutkan Provinsi Papua Barat merupakan salah satu wilayah dengan keluasan kawasan hutan mangrove yang sangat besar di Indonesia, yaitu seluas 482.029 hektare dari total luas hutan mangrove di Indonesia, yakni 3,49 juta hektare.
Menurut Charlie, hingga saat ini Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Perlindungan Kawasan Hutan Mangrove di Papua Barat tinggal menunggu diundangkan oleh Gubernur Papua Barat. Peraturan ini, kata Charlie, nantinya akan mendorong Papua Barat menjadi provinsi konservasi dan provinsi berkelanjutan dalam hal budidaya dan pengembangan kawasan hutan mangrove di Indonesia.
Rika sendiri mengatakan dirinya sudah bertekad akan mengabdikan hidupnya untuk masyarakat dan merehabilitasi kawasan Mangrove. “Kelihatannya ini sepele. Tetapi kalau kita tahu hubungan masyarakat pesisir dengan bakau, maka menanam dan merawat bakau itu seperti merawat kehidupan. Bakau hancur, kita di pesisir juga sengsara,” kata Rika.(***)