JAKARTA– Elemen masyarakat Toraja yang terdiri dari Mahasiswa, Pemuda adat dan praktisi pendidikan menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Komisi Yudisial RI di Jakarta, Selasa (28/7) siang. Aksi digelar bersamaan dengan aksi demonstrasi elemen masyarakat Toraja di Rantepao, Toraja Utara, Sulsel.
Seperti diketahui, rangkaian aksi tersebut menggaungkan perlawanan masyarakat Toraja atas dugaan terjadinya ‘peradilan sesat’ dalam perkara lahan Lapangan Gembira atau Rante Menduruk di Rantepao Toraja Utara yang sudah memasuki tahap peninjauan kembali di MA.
Aksi di depan kantor Komisi Yudisial yang terletak di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, diiringi aksi Ma’badong oleh elemen masyarakat Toraja dan dilakukan usai massa menggelar aksi di depan kantor mahkamah agung. Ma’badong menjadi simbolisasi atas rasa duka masyarakat Toraja akibat putusan pengadilan di tingkat peradilan pertama, banding dan kasasi yang abai terhadap kepentingan dan hak-hak masyarakat adat Toraja dalam perkara tersebut.
Dalam orasinya, Ketua Ikatan Mahasiswa Rantepao yang juga adalah perwakilan Pemuda Adat dari Wilayah Adat Ba’lele, Farel Fahmi Datu Paseru menjelaskan bahwa leluhurnya tidak pernah menjual tanah kepada Ambo Bade, sosok yang disebut para penggugat, menjual lahan (kini objek sengketa) kepada Haji Ali.
Lois Toding, Koordinator Aksi Lois Himpunan Mahasiswa Toraja Indonesia mengecam penerapan hukum dalam putusan-putusan sidang mulai saat disidangkan di pengadilan negeri, pengadilan tinggi hingga tingkat kasasi. Itu sebabnya Komisi Yudisial diminta untuk memeriksa para hakim yang telah mengadili perkara Lapangan Gembira di Toraja Utara, Sulawesi Selatan.
Koordinator Panitia Pengarah (SC) Himpunan Mahasiswa Toraja Indonesia, Ignasius Tandi Rano merinci, setelah melakukan kajian, pihaknya menemukan sejumlah fakta dan kejanggalan penerapan hukum pada perkara itu; baik ketika perkara diadili di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun di Mahkamah Agung (Kasasi).
“Fakta-fakta tersebut terkesan sengaja diabaikan,” kata Ignas.
Ada 7 hal yang menurutnya janggal diantaranya, pertama, legal standing penggugat. Pada aspek ini salah satu penggugat, Sdr Irfan Ahli, bukanlah ahli waris Haji Ali yang berhak mengajukan gugatan.
Kedua, tergugat Bupati Toraja Utara bukanlah pihak yang memiliki objek gugatan. Ketiga, bukti kepemilikan yang dipakai ahli waris adalah foto copy dan penggugat tidak pernah bisa menghadirkan asli surat/dokumen kepemilikan tersebut.
Keempat, ahli waris tidak bisa memperlihatkan obyek tanah sesuai dokumen yang mereka miliki. Termasuk pada saat sidang di lapangan. Keenam, harga tanah yang tertera dalam dokumen foto copy menyebut f 200 ( dua ratus rupiah ). “Ini jelas palsu karena Indonesia mengenal rupiah mulai tahun 1946,” katanya.
Ketujuh, kawasan tanah sengketa yang oleh penggugat disebut “tanah lapang gembira atau Rante Menduruk sejatinya adalah tanah yang awalnya adalah milik masyarakat adat yang diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda dan kemudian diubah fungsi menjadi lapangan pacuan kuda.
Pada saat pendudukan Kolonial Belanda berakhir, tanah lapangan gembira dan sekitarnya kembali kepada masyarakat adat Ba’lele yang selanjutnya diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Tana Toraja untuk kepentingan penyediaan lokasi pembangunan sekolah dan lainnya.
“Fakta-fakta ini sepertinya sengaja diabaikan sebagai pertimbangan dalam mengadili perkara tersebut sehingga penggugat menang dalam tiga tingkat peradilan. Kami meminta Komisi Yudisial memeriksa hakim-hakim yang mengadilinya,” tegas Ignas.
Karena keganjilan-keganjilan itulah pihaknya kemudian meminta Komisi Yudisial untuk memeriksa dugaan pelanggaran etik para hakim yang mengadili perkara tersebut. Permintaan itu disampaikan secara tertulis dan diterima oleh perwakilan Komisi Yudisial. (*/PB)