Anggota TNI Tewas Tertembak di Poso

 Operasi Camar Maleo IV yang digelar TNI dan Polri di Poso,Sulawesi Tengah, kembali memakan korban jiwa. Seorang anggota TNI dari satuan Yonif 712 Raider, yang tergabung dalam tim Bravo15 dalam operasi Camar Maleo, tewas saat terjadi kontak tembak dengan orang yang tidak dikenal (OTK) yang diduga dari kelompok teroris Santoso pada Minggu (29/11) 2015 sekitar pukul 10.00 Wita.

Operasi gabungan TNI dan Polri ini bertujuan menumpas kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT), dibawah pimpinan Santoso alias Abu Wardah merupakan tokoh yang paling dicari aparat kepolisian di Poso. Ia diduga terlibat penembakan tiga anggota polisi di BCA Palu pada 25 Mei 2011 dan sempat memimpin pelatihan teroris di Poso. Santoso memiliki kaitan dengan kelompok teroris yang melakukan peledakan di Solo, Bojonggede Bogor, Tambora.

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, kontak tembak tersebut terjadi di sekitar Desa Maranda, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso, atau sekitar 6 kilometer dari dusun Gayatri.

Berdasarkan identifikasi sementara dari pakaian dan helm yang dikenakan, korban tewas  bernama Serka Zaenudin, anggota TNI dari satuan Yonif 712 Raider Manado Sulawesi Utara. Penembak langsung menghilang walau dikejar oleh para anggota TNI lainnya. Jenazah anggota TNI Dari Batalyon 712 Wiratama Menado Sulawesi Utara, Serka Zainuddin NRP 21040222290784 , yang tewas dalam baku tembak dengan orang tak dikenal (OTK)  di Poso dimakamkan di pekuburan keluarga dikampung halamannya, Dusun Manuju, Kelurahan Mattompo Dalle, Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar, Senin 30 November  siang.
Danramil Polut, Kapten Inf Supriady, saat dihubungi tribun, mengatakan, pihak keluarga sendiri yang meminta untuk dimakamkan di pekuburan keluarga.
“Rencananya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan ( TMP ) Polongbangkeng Selatan Takalar, tapi keluarganya minta dekat dari rumah saja,” ujar Kapten Inf Supriady kepada awak media.
Almarhum sendiri meninggalkan seorang istri bernama Hamdana dan anak yang masih berumur 3 tahun.
Setelah lulus SMA, almarhum mengikuti sekolah bintara dan ketika lulus langsung ditempatkan di Yonif 712 / Raider yang kemudian menjabat Ba Purir Kipan C Yonif 712/Raider.
Almarhum merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya bertugas di satuan Brimob Menado saudara keduanya yakni perempuan dan baru meninggal sekira empat bulan lalu.

Seperti diberitakan sebelumnya, kontak senjata antara TNI dan kelompok bersenjalalu.pimpinan Santoso terjadi di Desa Maranda, Dusun Gayatri, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Sulawesi Tengah, Minggu 29 November 2015, pagi. Seorang anggota TNI dari Yonif 712 Manado tewas tertembak.
Berdasarkan keterangan yang dikumpulkan di lapangan, anggota TNI yang tewas itu bernama Serka Zainuddin. Sebelum kontak senjata, Serka Zainuddin bersama anggota TNI lainnya sedang melakukan operasi pengejaran di wilayah pegunungan Dusun Gayatri. Namun, keberadaan anggota TNI diduga telah diketahui oleh kelompok bersenjata Poso yang memang menguasai wilayah pegunungan tersebut.
Serka Zainuddin diduga ditembak dengan menggunakan senjata sniper. Melihat salah satu rekan mereka terkena tembakan, anggota TNI lainnya kemudian membalas tembakan tersebut. Namun, kelompok tersebut berhasil melarikan diri setelah melakukan penembakan.
Jenazah Serka Zainuddin dievakuasi menuju Markas Komando Batalyon 711 Raksatama Palu dengan menggunakan helikopter. Setelah itu jenazah Serka Zainuddin langsung dibawa dengan menggunakan mobil menuju RS Bhayangkara, Palu. Sebelum diterbangkan ke Kota Makassar menuju kampung halamannya.
Seperti diketahui, aparat TNI dan Polri terus melakukan pengejaran terhadap kelompok bersenjata pimpinan Santoso di wilayah pegunungan Poso. Sebanyak seribu lebih personel TNI dan Polri disebar di beberapa pegunungan yang dianggap menjadi tempat atau lokasi persembunyian kelompok bersenjata pimpinan Santoso.
Sebelumnya salah satu gembong teroris bernama Daeng Koro bekas anggota pasukan elit bernama asli Sabar Subagyo alias Mas Koro alias Abu Autat alias Autat Trawah yang bergabung dengan pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Santoso alias Abu Wardah, di Poso. Tewas setelah baku tembak dengan Densus 88 di Pegunungan Sakina Jaya, Desa Pangi, Kecamatan Parigi Utara, Poso, Jumat 3 April.
Kuat dugaan melalui Daeng Koro, kelompok Santoso mendapat pelatihan militer. Pasalnya, Daeng Koro yang memiliki nama asli Sabar Subagio pernah terdaftar sebagai anggota Komando Pasukan Sandi Yudha 1982 berstatus sebagai Calon Komando (Cako).
Namun, pada saat menjalani seleksi komando, Daeng Koro tidak lulus seleksi karena hasil tes jasmani tidak memenuhi syarat sebagai prajurit komando. Kemudian dia ditampung di Detasemen Markas (Denma) Cijantung selama 4 tahun.
Pada tahun 1985, Daeng Koro dipindahkan ke Kariango, Maros, Sulawesi Selatan untuk menjadi anggota Brigif Linud 3/TBS Kostrad dan menjadi tim TC Voli. Sampai akhirnya Daeng Koro dipecat pada 1992. Terkait kasus asusila dengan pangkat terakhir Kopral Dua (Kopda).
Dan kini pengejaran terhadap Santoso alias Abu Wardah sekarang bersembunyi di hutan bersama 19 orang anggotanya, dan menamakan kelompoknya sebagai Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Santoso dan kelompoknya terakhir terlihat di rekaman video yang dirilis Polda Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu. Video tersebut, didapatkan ketika pasukan keamanan terlibat baku tembak dengan kelompok sipil bersenjata pada Oktober 2014.
Kelompok yang dipimpin Santoso itu akhirnya terdesak, dan lari ke tengah hutan dengan meninggalkan sejumlah barang bukti, antara lain “handycam” berisi rekaman video.
Rekaman tersebut, berisi video yang sudah dipotong-potong menjadi beberapa gambar berdurasi beberapa detik. Di dalam rekaman terlihat Santoso berlatih perang dengan cara menyeberangi sungai sambil membawa senjata laras panjang. Kepala Santoso ditutup daun agar tidak terlihat oleh musuh.
Selain itu, terlihat anggota kelompok teroris lainnya melakukan aksi salto ke dalam air sambil memegang senjata api.
Di dalam video tersebut, mereka juga mendeklarasikan telah bergabung dengan kelompok Negara Islam di Suriah dan Irak (ISIS).
Mereka juga mengancam warga yang ada di sekitar hutan yang menjadi tempat persembunyian Santoso agar tidak melapor ke polisi jika ingin selamat.
Dari informasi yang berhasil dihimpun saat ini, jumlah teroris yang bersembunyi di hutan  sekitar 20 orang, tiga di antaranya warga asing asal Tiongkok. Mereka juga berbahaya karena memiliki senjata api dan bahan peledak.

Baca Juga :   Temui Penimbunan dan Kelangkaan Minyak Goreng, Masyarakat Bisa Laporkan di Polres Terdekat

Camar Maleo
Polri sekarang menggelar Operasi Camar Maleo 2015 yang fokus menangkap Santoso dan jaringannya di Kabupaten Poso.
Operasi yang berlangsung sejak 26 Januari 2105 tersebut, rencananya berlangsung selama dua bulan dengan mengerahkan sekitar 1.000 pasukan dengan dibantu aparat TNI.
Operasi tersebut, telah menangkap enam terduga simpatisan dan jaringan kelompok Santoso di beberapa lokasi, serta mengamankan sejumlah barang bukti, antara lain sepucuk senjata api rakitan, puluhan amunisi dan selongsong peluru, bahan peledak, dan sejumlah sepeda motor.
Selama 2015, polisi telah menangkap 12 kaki tangan kelompok Santoso, dan kini mereka masih menjalani pemeriksaan intensif di markas polisi.
Akibat penangkapan itu, kawanan teroris balas dendam dengan membunuh tiga warga Poso. Selain itu, tiga warga Poso juga masih hilang, dan diduga kuat diculik oleh Santoso cs.
Kini, polisi masih mencari kawanan teroris yang bersembunyi di hutan dengan luas sekitar 40 kilometer persegi dengan medan terjal dan berbukit.
Polisi beralasan, medan tersebut sulit ditembus karena pada siang hari kabut sudah mulai turun di pegunungan sehingga menyulitkan pencarian.
Masyarakat berharap polisi dapat menangkap gerombolan teroris di Kabupaten Poso.

Sinergitas Aparat
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Poso Abdul Gani mengatakan, kasus terorisme di wilayahnya bukanlah kontak fisik antara umat Islam dan Kristen, melainkan kelompok Muslim radikal melawan aparat keamanan (kepolisian).
Pertikaian antara umat Islam dan Kristen yang terjadi sejak 1998 telah lama berakhir setelah operasi penangkapan kelompok radikal pada Januari 2007.
Saat itu, puluhan anggota kelompok Muslim radikal ditangkap dan banyak di antaranya yang tewas di tangan aparat kepolisian.
Mulai saat itu, kelompok radikal di Kabupaten Poso merasa dendam kepada polisi, khususnya Detasemen Khusus 88/Antiteror. Sejumlah aksi penembakan dan pengeboman kepada polisi mulai terjadi, hingga saat ini.
Abdul Gani mengatakan, saat ini masyarakat Poso tidak lagi mudah terprovokasi oleh pihak tertentu yang mengiginkan Poso kembali bergejolak.

Baca Juga :   Mobil Mazda DD 1432 VB Masuk Kanal Jalan Abd Dg Sirua

Pria yang juga anggota DPRD Kabupaten Poso itu berharap, aparat keamanan khususnya Polri dan TNI, bisa bersinergi mengatasi kasus terorisme.

Banyak pula warga yang menginginkan agar polisi hengkang dari Poso, digantikan TNI, karena sebagian masyarakat kurang mempercayai polisi.

Dia menilai, aparat Polri dan TNI kurang bersinergi sehingga kasus terorisme masih saja terjadi hingga saat ini, sehingga ada anggapan kasus kekerasan di Poso sengaja dibiarkan agar banyak dana mengucur untuk operasi pengamanan.

Kepala Polda Sulawesi Tengah, Brigjen Pol Idham Azis membantah tegas dugaan itu. Dia menyatakan polisi tetap bertekad memberantas kasus terorisme.

“Negara tidak boleh kalah dengan teroris,” kata pria yang sudah mengenal Poso sejak 12 tahun silam ini. Selama penanganan kasus terorisme, tercatat sebanyak 96 anggota polisi telah tewas terbunuh.

Dia juga mengaku siap berdialog dengan Santoso maupun pentolan teroris di Kabupaten Poso. Polisi juga menjamin keamanan para buronan tersebut jika menyerahkan diri secara baik-baik.

“Kita akan kejar, kejar dan kejar. Kalau tidak menyerahkan diri, hanya ada dua kemungkinan. Polisi yang mati atau mereka yang mati,” kata Idham.Selama 10 tahun Polri, khususnya Detasemen Khusus (Densus) 88 menangani masalah terorisme. Pada akhir 2014 lalu, pemerintah membuat kebijakan baru, khususnya dalam penanganan masalah terorisme di Poso, Sulawesi Tengah.

Melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, pemerintah menegaskan segera menumpas kelompok teroris yang berafiliasi ke ISIS di Poso, Sulawesi Tengah. Perintah penumpasan itu langsung diberikan oleh Presiden Joko Widodo agar TNI dikerahkan untuk menyapu bersih kelompok yang sering melakukan aksi teror dan memecah persatuan dan kesatuan bangsa.

Pemerintah juga telah mendeteksi 100 warga dari luar Indonesia yang masuk ke Poso untuk berjihad. “Mereka tergabung dalam kelompok ISIS. Merasa jihad bersama (kelompok ISIS) di Suriah tidak bisa, mereka beralih berjihad di Poso,” katanya.

Karena itulah, lanjut Tjahjo, seluruh matra TNI akan diturunkan ke Poso untuk membantu Polri. “Masak selama 10 tahun didiamkan dan belum selesai juga? Mulai Januari 2015, TNI turun dan akan menghabisi kelompok teroris,” ujar Tjahjo, di Jayapura, Ahad (28/12/2014).

Pemerintah juga menduga adanya penyelundupan senjata di perbatasan yang dilakukan kelompok ISIS. “Pelakunya diduga kuat kelompok ISIS. Makanya, nanti seluruh matra TNI diturunkan untuk memburu. Apalagi, mereka dipimpin seorang disersi bekas anggota Kopassus, anak buahnya sekitar 200 orang,” kata Mendagri Tjahjo Kumolo.

Daeng Koro juga dituding sebagai aktor di belakang serangkaian aksi kekerasan bersenjata MIT yang bergerilya di hutan-hutan wilayah Poso Pesisir. Kapolres Poso AKBP Susnadi mengakui, salah satu tokoh kelompok radikal yang selama ini berperan penting dalam aksi-aksi teror dan kekerasan bersenjata di Poso  adalah Daeng Koro.

Nama Daeng Koro dituding sebagai pimpinan operasi penggorokan petani Desa Taunca, Poso Pesisir, M Fadli, pada pertengahan  September 2014 lalu. Dugaan kuat peran Daeng Koro itu setelah ditemukan sejumlah barang bukti saat TNI dan Polri melakukan penyisiran pada pekan ketiga September 2014 atau sehari setelah pembunuhan M Fadli di sebuah gubuk di Dusun Tamanjekan, Poso Pesisir.

“Dari barang bukti yang ditemukan, terdapat rompi antipeluru, baju, serta celana bercorak TNI.  Diduga kuat kelompok tersebut merupakan DPO (daftar pencarian orang) Daeng Koro,” kata Susnadi.
Seorang perwira Densus 88 mengatakan, Daeng Koro adalah otak di balik sejumlah pelatihan para militer, atau yang biasa disebut tadrib askari di Poso. “Dia ini yang memikirkan materi pelatihan, isi pelatihan, membangun kamp-kamp teroris, menyusun jebakan, dan sebagainya,” katanya.
Santoso sempat menjalani vonis empat tahun di Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah, atas kasus kepemilikan senjata api dan percobaan pembunuhan pada 2003. Setelah bebas pada 2007, ia kembali melakukan aksinya dan memimpin kelompok MIT.
Pengamat terorisme, Al Chaidar, menyatakan, polisi memang dijadikan target kelompok teroris. Beberapa kali anggota kelompok ini tewas ditembak dan ditangkap Densus 88 sehingga muncul dendam untuk membalas.
Bagi kelompok MIT, menurut Chaidar, Densus 88 sudah beraksi kelewatan dan perlu dihentikan dengan sebuah perlawanan. Kelompok radikal ini secara khusus mengincar polisi seperti yang pernah terjadi dalam penyerangan pos polisi dan penembakan polisi di Poso.
Dua anggota Polsek Poso Pesisir, Brigadir Sudirman dan Brigadir Satu Andi Sapa, menghilang sejak 8 Oktober 2012, di Desa Taman Jeka, Poso, yang diduga sebagai basis Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) pimpinan Santoso, sekitar Gunung Potong.
Operasi penyisiran dengan sandi Sadar Maleo ini menemukan hasil pada 16 Oktober 2012 ketika dua mayat anggota Polri tersebut ditemukan dalam sebuah lubang di pinggir desa. Keduanya dibunuh dengan kejam. Polisi menduga mereka bersembunyi di kawasan Pegunungan Dusun Tamanjeka, Desa Masani, Kecamatan Poso Pesisir. Selain Santoso dan Daeng Koro, ada 22 nama yang masuk daftar buron polisi.
Abu Wardah Santoso pernah mengunggah video bernama “Seruan01” melalui akun Al Himmah pada 7 Juli 2013. Tampilan awal video bertuliskan “Risalah kepada umat Islam di Kota Poso” dengan sebuah nama di bawahnya Syaikh Abu Wardah Santoso. Video itu berdurasi enam menit dua detik beridentitas Mujahidin Indonesia Timur.
Kemudian, muncul seseorang berbicara sambil menggenggam pistol dan memberikan seruan untuk melawan Densus 88 yang selama ini menangkapi kelompok mereka. “Antum (kalian) tidak perlu ragu ketika menghadapi Densus 88. Antum harus semangat,” ujar pria yang diduga sebagai Santoso.
Mantan kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyad Mbai mengatakan, tujuan video itu untuk membuat resah masyarakat serta mengajak supaya tidak percaya kepada pemerintah. Mereka tidak berani muncul secara langsung dan meneror masyarakat lewat dunia maya.

Baca Juga :   Ini Dia Koper yang Anak Muda Banget!

Operasi besar
Pemerintah telah mengumumkan akan mengerahkan TNI untuk membantu Polri dalam penanggulangan terorisme di Poso. Polri kini justru semakin gencar melakukan operasi. Ada kesan polisi tidak ingin kelompok yang diburunya lebih dahulu dilakukan oleh TNI.
Untuk mengejar kelompok yang bersembunyi di puncak gunung itu, pemerintah memercayai kemampuan personel TNI daripada Polri. Polri lebih banyak memburu kelompok Santoso di kaki gunung. “Yang punya kemampuan bertempur sampai puncak gunung, tim pemburu pasukan elite TNI,” ujar seorang perwira tinggi TNI.
Sebelum TNI diterjunkan dalam operasi besar-besaran, Tim Densus 88, Sabtu 10 Januari 2015, menembak mati seorang terduga teroris di Tana Lili, Kecamatan Bone-Bone, Kabupaten Luwu Utara. Kapolsek Bone-Bone, Kompol Anwar D, mengatakan, penembakan terjadi sekitar pukul 10.00 WITA.
Selain itu, lima DPO terorisme ditangkap personel Densus 88 dan Polda Sulawesi Tengah di beberapa lokasi berbeda di Poso sepanjang Sabtu (10/1/2015). Dari tangan kelima DPO, polisi juga menyita beberapa barang bukti seperti senjata api dan beberapa butir peluru.
Karo Penmas Mabes Polri Kombes Pol Agus Rianto mengatakan, DPO yang ditangkap pertama, yakni Ilham Syafii. Ilham ditangkap pukul 10.15 WITA di Desa Bungadidi, Dusun Beringin, Kecamatan Tanalili, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Selain ke Sulawsi Selatan, polisi juga mengejar kelompok Poso hingga ke Bima, Nusa Tenggara Barat.  Hasilnya, dua terduga teroris ditangkap di Bima, Kamis 8 Januari 2015.
Menurut Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Ronny F Sompie, selama kurun waktu 2004 hingga 2014, seanyak 99 anggota Polri menjadi korban aksi terorisme. Sebanyak 34 di antaranya meninggal dunia dan 65 luka-luka. Selama 2014, Polri berhasil mencegah enam rencana aksi teror, di antaranya rencana peledakan bom di pos polisi dan tempat hiburan di Surabaya.

Pos terkait