KARYA NURLINA SYAHRIR
SINOPSIS
Benteng Pannyua atau biasa juga disebut benteng Ujung Pandang pada awalnya merupakan benteng milik Kerajaan Gowa-Tallo, dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa X, Karaeng Tumapakrisi Kallonna. Diambilalih oleh Belanda sebagai pusat perdagangan dan militer melalui Perjanjian Bongayya 18 November 1667 dan diberi nama Fort Rotterdam. Sejarah Kota Makassar termasuk sejarah pertumbuhan kota, arsitektur dan kesenian beririsan dengan benteng ini. Pertunjukan tari “A’karane ri Benteng Pannyua” yang berakar dari mitos atau tradisi Pakarena memperlihatkan bagaimana kesenian tari memiliki hubungan sejarah, sosial, budaya dan politik dengan benteng Pannyua dan lingkungan sekitarnya di masa lalu dan masa kini. Kesabaran, ketabahan dan keteguhan perempuan dalam pertunjukan ini sebagai sikap mendasar bagi manusia Makassar ketika menghadapi rintangan hidup dalam filosofi siri’ na pace (harga diri dan kehormatan).
STRUKTUR DRAMATIK
Kejadian Pertama: Amuntuli Aparrapa Empo
Amuntuli Aparrapa Empo dalam tradisi Makassar untuk menyambut dan mengiringi tamu menuju ke tempat duduk sebelum acara dimulai. Penerima tamu dengan tubuh ritualnya merepresentasikan sikap sipakatau yang saling memanusiakan, sipakainge yang saling mengingatkan, sipakalebbi yang saling menghargai.
Kejadian Kedua: Tomanurung Menitiskan Assulapa Appa
Menggambarkan mitos Tomanurung, seperti cahaya turun dari langit (boting langi) ke bumi (lino). Tomanurung menitiskan manusia assulapa appa, yang mendeskripsikan sosok yang sempurna sebagai manusia yang hidup dalam masyarakat sebagai panutan yang memberi petunjuk kepada manusia mengenai tata cara dari segala aspek kehidupan.
Kejadian Ketiga: Karenang Bate Salapang
Bate Salapang adalah majelis yang memilih dan melantik raja. Mereka menjaga keutuhan dan siap mati untuk kerajaan. Karenang Bate Salapang menggambarkan permainan yang berbeda dengan beladiri pada umumnya. Tidak ada serangan dan tangkisan, tetapi lebih memilih menunggu. Ketika melakukan gerakan langsung melumpuhkan atau mematikan.
Kejadian Keempat: Komunitas Kota yang Kosmopolitan
Menggambarkan kehidupan masyarakat Makassar yang multikultural, yang giat ikut dalam jaringan bisnis, berinteraksi dengan komunitas kota yang kosmopolitan. Sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas keberagaman budaya dari berbagai etnik yang berbeda untuk saling berinteraksi sebagai syarat yang niscaya untuk hidup bersama.
Kejadian Kelima: A’karena dalam Pusaran Waktu
Menggambarkan tentang kesabaran, ketabahan, keteguhan manusia Makassar dalam mengarungi pusaran waktu yang lalu, kini, dan bahkan yang akan datang. Suara, gerak dan kata mewujudkan perbuatan manusia yang memiliki siri’ na pace (harga diri dan kehormatan) disertai dengan kesucian hati. Manusia Makassar sangat menyintai dan menghargai tanah Gowa. Harga diri dan kehormatannya dipertaruhkan untuk negerinya kerena merupakan sumber kehidupan mereka.
“Saksikan Akkarena RI Benteng Pannyuas, Rabu 28 Agustus 2019 Pkl 1930 Wita-Selesai ri Benteng Fort Rotterdam, Jln. Ujung Pandang No 1 Makassar.