WASIOR – Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama mengakui perhatian juga dukungan terhadap penanganan HIV/AIDS selama ini belum optimal.
Terlebih dalam 2 tahun terakhir ini perhatian Pemda nyaris seluruhnya tercurah untuk penanganan Covid-19.
“Perhatian terhadap HIV/AIDS di Kabupaten Teluk Wondama itu memang timbul tenggelam. Kita harus akui itu karena beberapa tahun tereakhir ini kita sibuk dengan Covid-19 sehingga tidak ada yang begitu memperhatikan masalah HIV/AIDS. Padahal HIV/AIDS mungkin lebih berbahaya dari Covid, “kata Wakil Bupati Andarias Kayukatuy.
Andi, panggilan karib Andarias Kayukatuy menyampaikan itu sewaktu membuka kegiatan Orientasi Pencatatan dan Pelaporan Program HIV/AIDS bagi Petugas Rumah Sakit dan Puskesmas di aula RSUD Teluk Wondama di Manggurai, Wasior, Jumat (5/8/2022).
Oang nomor dua Wondama itu mendorong perlunya pemeriksaan HIV/AIDS secara lebih luas untuk mengetahui seberapa besar tingkat penularan penyakit yang menyerang sistim kekebalan tubuh manusia itu di Wondama.
“Memang di kalangan msyarakat masih merasa HIV itu sesuatu yang kurang bagus sehingga masyarakat enggan memeriksakan diri. Jadi saya setuju pada setiap (unit) pelayanan, ada yang datang ke Puskesmas itu langsung diambil darahnya untuk dites supaya kita bisa tahu bagaimana kondisi HIV/AIDS di kabupaten Teluk Wondama, “kata Andi.
Wabup pun berharap pendataan dan pelaporan kasus HIV/AIDS dijalankan dengan baik sehingga bisa menjadi dasar bagi Pemda dalam pengambilan kebijakan juga pihak-pihak terkait lainnya untuk mendukung penanganan HIV/AIDS.
“Sesuai data yang ada 90 orang. Tapi kita belum tahu karena belum semua penduduk di Wondama ini dites atau diperiksa. Bisa-bisa sudah menular ke orang lain juga. Sehingga hal ini perlu kita perhatikan bersama karena HIV ini tidak ada gejala, “ ucap mantan Kepala Dinas Sosial itu.
Pengelola Program HIV/AIDS dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Teluk Wondama Melany A.Rumawak menyebutkan, berdasarkan data yang dimiliki KPA, jumlah ODHA (orang dengan HIV/AIDS) di Wondama sudah sebanyak 533 orang. Jumlah itu merupakan angka komulatif sejak tahun 2017.
“Data itu dari 2017 sampai sekarang. Itu sudah termasuk yang meninggal, yang hilang kontak, yang sudah keluar dari kabupaten, yang lagi mengandung dan yang dalam pengobatan, “papar Melany.
Dia menjelaskan, data jumlah ODHA yang dimiliki KPA merupakan data yang dihimpun secara manual berdasarkan temuan kasus di Puskesmas yang kemudian dirujuk ke RSUD Teluk Wondama.
Sementara data yang disampaikan wakil bupati merupakan jumlah kasus yang telah terinput dalam SIHA (sistim informasi HIV/AIDS).
“Jadi kenapa berbeda karena yang tadi dilaporkan itu laporan data SIHA laporan elektronik sedangkan yang ada di kita itu manual. Kami adalah pengguna data bukan penerbit data, itu semua dari Dinas Kesehatan, “ujar Melany.
Melany membenarkan bahwa sebagian masyarakat Wondama masih enggan memeriksaan diri untuk mengetahui status HIV/AIDS. Hal itu lantaran HIV/AIDS dianggap sebagai penyakit kutukan. Kondisi itulah yang menjadi tantangan terbesar dalam penanganan HIV/AIDS.
“Jadi masyarakat masih enggan untuk datang ke layanan. Apalagi kalau ada yang sudah positif, begitu skiring ketemu di (unit) layanan, mereka tahu mereka positif mereka langsung menutup diri,” jelas Melany.
Pengelola Program HIV/AIDS dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat Marlov Taribaba juga berpandangan perlu ada upaya yang lebih masif agar masyarakat mau memeriksa status HIV/AIDS. Termasuk dengan melakukan pemeriksaan massal.
Namun menurutnya untuk bisa merubah cara pandang masyarakat tentang HIV/AIDS perlu contoh langsung dari para pemimpin maupun para tokoh di daerah.
” Di Provinsi, (mantan) Gubernur Papua Barat Bapak Dominggus Mandacan sudah melakukan tes HIV. Kita kalau tes maka masyarakat akan mau tes, kita harus kasih contoh, “ujar Marlov. (Nday)