JAKARTA, Kabartimur.com – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluncurkan Merdeka Belajar Episode Ketujuh Belas: Revitalisasi Bahasa Daerah. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, mengungkapkan salah satu penyebab punahnya bahasa daerah adalah karena para penutur jatinya tidak lagi mewariskan Bahasa daerah ke generasi berikutnya.
“Indonesia memiliki sekitar 718 bahasa daerah, namun sayangnya banyak yang terancam punah. Penyebab utamanya adalah para penutur jatinya tidak lagi menggunakan dan mewariskan bahasanya pada generasi berikutnya,” ungkap Menteri Nadiem pada kegiatan peluncuran Merdeka Belajar Episode Ketujuh Belas: Revitalisasi Bahasa Daerah secara daring, Selasa (22/2) melalui siaran pers.
Oleh karenanya, salah satu strategi revitalisasi bahasa daerah adalah dengan mendorong satuan pendidikan memuat pelajaran bahasa daerah sebagai muatan lokal di jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah. Hal ini juga perlu didorong oleh kebijakan pemerintah daerah masing-masing. Pada provinsi, kabupaten, serta kota yang memiliki bahasa daerah dominan seperti Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali, kami berharap muatan lokal yang diwajibkan adalah pelajaran bahasa daerah. “Tetapi, wilayah-wilayah yang tidak punya bahasa daerah yang dominan, maka muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing. Jadi, pilihannya benar-benar ada di masing-masing sekolah,” kata Menteri Nadiem.
“Namun, wajib tidaknya bahasa daerah menjadi muatan lokal di sekolah, akan tergantung kebijakan masing-masing pemerintah daerah. Kalau bukan kebebasan masing-masing daerah, berarti bukan Merdeka Belajar. Jadi tergantung,” lanjut Mendikbudristek.
Hadirnya program Revitalisasi Bahasa Daerah makin menggugah sekolah untuk bergerak mengembangkan pembelajaran bahasa daerah yang membangkitkan kreativitas peserta didik. “Saya juga berharap, sekolah-sekolah menggerakkan bahasa daerah bagi para pelajar dan membuat jembatan lintas generasi, kembali pada identitas kita dan merayakan kebinekaan,” harap Menteri Nadiem.
Untuk melindungi penutur asli bahasa daerah, dijelaskan Menteri Nadiem, strategi terbaik adalah dengan memberi peluang seluas-luasnya pada semua penutur asli bahasa daerah untuk menggunakan bahasanya. “Itulah mengapa kami mengembangkan tiga model revitalisasi yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Pertama, bagi bahasa daerah yang daya hidup bahasanya masih aman, kami melakukan pewarisan lewat pembelajaran di sekolah. Bagi bahasa daerah yang daya hidupnya tergolong rentan, walau jumlah penuturnya relatif banyak, kami gunakan model kedua, di mana kita fokus bukan hanya ke sekolah tapi juga komunitas-komunitas,” jelasnya.
Model ketiga, lanjut Menteri Nadiem, di mana daya hidup bahasa daerah kategori ini mengalami kemunduran, terancam punah, dan kritis, Kemendikbudristek akan berfokus pada komunitas, masyarakat, dan melibatkan komunitas tutur, keluarga-keluarga, forum-forum, dan tempat-tempat ibadah yang dapat dimasukkan pembelajaran bahasa daerah.
“Mengapa bahasa daerah yang berkategori aman juga masuk revitalisasi? Karena kita tidak ada jaminan bahwa bahasa akan aman selama-lamanya. Bahkan, jumlah penuturnya selalu berkurang. Karena itulah pada 2022, kami menargetkan 38 bahasa sebagai obyek revitalisasi. Harapannya, penuturnya akan bertambah,” disampaikan Menteri Nadiem.
Terkait penyelarasan Bahasa Ibu dan Bahasa Indonesia, diakui Menteri Nadiem bahwa keduanya tidak berlawanan. “Justru keduanya saling melengkapi dengan fungsi masing-masing. Bahasa daerah merupakan ekspresi identitas seseorang, sementara Bahasa Idonesia adalah pengikat rasa nasionalisme,” katanya.
“Tantangannya adalah jika keduanya harus dipandang dan diperlakukan sama. Faktanya, bahasa daerah dan bahasa Indonesia berbeda. Kita bisa menjadi orang Indonesia tanpa menghilangkan ciri kedaerahan kita masing-masing, termasuk dalam berbahasa. Bangsa Indonesia lahir dari keberagaman bahasa dan budaya, dan ini memperkaya identitas bangsa kita,” ditambahkan Mendikbudristek.
Pelaksana Tugas (Plt.) Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman, mengakui pemerintah daerah Sulawesi Selatan berupaya melestarikan bahasa daerah dengan menjadikan bahasa daerah sebagai mata pelajaran wajib di jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah lewat peraturan gubernur. “Maka, mari kita terus mendukung agar bahasa daerah menjadi bahasa kearifan lokal dan karakter Indonesia yang memiliki bahasa berbeda-beda. Keberagaman ini adalah
adalah modal dasar mempersatukan bangsa,” tutur Andi.
Sementara itu, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, mengungkapkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat terus berkolaborasi mendukung revitalisasi bahasa daerah. “Kami berkomitmen melestarikan corak keragaman yang indah dan memajukan Jabar Juara menjadi Indonesia Juara,” tutur Ridwan.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengungkapkan, beragamnya bahasa daerah adalah bukti Indonesia negara yang besar. “Kesadaran ini perlu kita rawat dan lestarikan sekaligus sebagai benteng iling-iling, agar kita tak lupa dari mana kita berasal. Jangan sampai kita kehilangan warisan kebudayaan yang berharga ini,” ucap Ganjar.
Pendidik masyarakat adat dan aktivis sosial Butet Manurung mengakui bahwa bahasa adalah inti kebudayaan, karena informasi dalam kebudayaan tidak bisa disampaikan dari generasi ke generasi dengan utuh jika tidak menggunakan bahasa daerah. “Hilangnya bahasa daerah artinya hilangnya kepercayaan diri, identitas, dan kebanggaan diri, hilang juga pengetahuan tentang obat tradisional, menjaga lingkungan, dan berdoa kepada Tuhan,” ucap Butet
Bahasa daerah mesti diberi ruang di sekolah-sekolah. Para penutur lokal bisa membantu guru untuk mengajarkan bahasa daerah kepada anak-anak di sekolah,” tutur Butet.
Menutup paparannya, Mendikbudristek mengajak semua pihak berperan aktif dalam kegiatan pelestarian Bahasa ibu. “Mari kita sama-sama melestarikan bahasa daerah agar tetap adaptif bagi generasi berikutnya,” ajaknya (Rls)