RANTEPAO– Usai menggerakkan aksi demonstrasi di Jakarta serta Toraja, Himpunan Mahasiswa Toraya Indonesia (HMTI) terus membangun koordinasi dengan komponen strategis masyarakat Toraja dalam upaya memperluas kesadaran publik soal urgensi memperjuangkan Lapangan Gembira atau Rante Menduruk sebagai bagian dari aset Pemkab Torut dan masyarakat adat Toraja.
Seperti diketahui Lapangan Gembira saat ini menjadi objek perkara yang prosesnya sudah sampai di level Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Ini adalah sebagai upaya hukum terakhir dalam sistem peradilan di Indonesia yang ditempuh Pemkab Toraja Utara sebagai tergugat– dengan penggugat M. Irfan Cs.
Senin 31 Agustus, HMTI bertemu dengan Kabag Hukum Pemkab Torut, Neti Palin di Rantepao. Selain membangun koordinasi terutama seputar langkah-langkah yang sudah dilakukan oleh komponen mahasiswa, pertemua tertutup itu juga dimaksud untuk menyemangati Pemkab sebagai wakil dari masyarakat Torut untuk tetap optimistis menghadapi sidang PK.
Koordinator HMTI, Ignasius Tandi Rano menjelaskan, Pemkab Torut yang diwakili oleh Kabag Hukum menyatakan sangat mendukung gerakan moral yang dilakukan oleh mahasiswa. Terutama karena mahasiswa telah menyampaikan aspirasi masyarakat bersama komponen masyarakat Toraja lainnya ke Komisi III DPR RI termasuk ke Komisi Yudisial, Mahkamah Agung dan Mabes Polri.
Selain Ignas– sapaan Ignasius, hadir pula aktivis HMTI antara lain Alfa Tangdilian (Toraja), Rian Patiung (Kota Sorong), Chong Leng Fat (Toraja).dan Kevin Datu Kelali (Manokwari). Menurut Ignas, sesudah ini pihaknya akan menggelar pertemuan dengan komponen masyarakat adat dan tokoh-tokoh adat.
“HMTI akan terus bekerjasama dengan semua elemen masyarakat, baik itu Pemda, toko adat maupun elemen pemuda Sang Torayan untuk mengawal perkara ini,” kata Ignas usai pertemuan.
Sebelumnya, masyarakat Toraja dari berbagai latarbelakang, seperti mahasiswa, pelajar, adat, dan praktisi pendidikan, menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Mahkamah Agung RI di Jakarta, Selasa (28/7). Aksi yang sama juga digelar komponen masyarakat Toraja di Rantepao pada waktu yang sama.
Dalam aksinya, masyarakat Toraja memprotes dugaan “peradilan sesat” dalam perkara lahan Lapangan Gembira atau Rante Menduruk di Rantepao,Toraja Utara, Sulawesi Selatan.
“Banyak fakta-fakta yang diabaikan oleh para hakim sejak pengadilan tingkat pertama hingga kasasi,” kata Steering Commite HMTI Wilayah Kalimantan, Tino Ampulembang.
Ia membeberkan setidaknya tujuh kejanggalan terkait keputusan hakim terkait perkara itu. Pertama, legal standing penggugat. Salah satu penggugat, Sdr Irfan Ahli, bukanlah ahli waris yang berhak mengajukan gugatan.
Kedua, tergugat Bupati Toraja Utara bukanlah pihak yang memiliki objek gugatan. Ketiga, bukti kepemilikan yang dipakai ahli waris adalah foto-copy dan penggugat tidak pernah bisa menghadirkan surat/dokumen asli kepemilikan tersebut.
Keempat, ahli waris tidak bisa memperlihatkan obyek tanah sesuai dokumen yang mereka miliki. Termasuk pada saat sidang di lapangan. Kelima, harga tanah yang tertera dalam dokumen foto-copy menyebut f 200 (dua ratus rupiah ). “Ini jelas palsu karena Indonesia mengenal rupiah mulai tahun 1946,” katanya.
Keenam, kawasan tanah sengketa yang oleh penggugat disebut “tanah lapang gembira” atau Rante Menduruk sejatinya adalah tanah yang awalnya adalah milik masyarakat adat yang diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda.
Saat itu, Belanda memfungsikannya sebagai lapangan pacuan kuda. Namun, setelah kekuasan kolonial berakhir, tanah lapangan gembira dan sekitarnya kembali kepada masyarakat adat Ba’lele.
Dalam perkembangan selanjutnya, tanah adat itu diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Tana Toraja untuk kepentingan penyediaan lokasi pembangunan sekolah dan lainnya.
“Fakta-fakta ini sepertinya sengaja diabaikan sebagai pertimbangan dalam mengadili perkara tersebut sehingga penggugat menang dalam tiga tingkat peradilan. Kami meminta Komisi Yudisial memeriksa hakim-hakim yang mengadilinya,” tegasnya.
Melihat situasi peradilan yang tak berpihak itu, Pemkab Toraja Utara melakukan upaya hukum terakhir, yaitu Peninjauan Kembali.
Untuk diketahui, selain mendatangi kantor Mahkamah Agung, masyarakat Toraja ketika itu juga mendatangi kantor Komisi Yudisial dan menggelar aksi.di depan istana negara.
Massa aksi sempat menggelar acara Ma’badong, sebagai simbolisasi atas rasa berduka masyarakat adat Toraja terhadap putusan pengadilan yang tidak adil.
Dalam aksi tersebut, masyarakat Toraja mendesak Komisi Yudisial untuk memeriksa dugaan pelanggaran etik para hakim yang mengadili perkara tersebut. Permintaan itu disampaikan secara tertulis dan diterima oleh perwakilan Komisi Yudisial.
Sementara itu Alfa Tangdilian, meminta dengan tegas agar laporan mengenai dugaan penggunaan akta jual beli palsu untuk objek Lapangan Gembira yang telah dilaporkan ke Polres Tana Toraja agar segera diproses dengan serius. Perihal yang sama juga telah disampaikan HMTI ke Mabes Polri. (PBT)