Jadi Korban Kekerasan saat Liput Kasus Suap, Ketua AJI : PR Bagi Kapolri dan Presiden

MANOKWARI – Kasus Nur Hadi, seorang Jurnalis Tempo, yang menjadi korban penyekapan disertai tindakan kekerasan, bahkan ancaman saat melakukan tugas jurnalistik, menjadi catatan khusus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

Hal ini dikarenakan, AJI Indonesia tidak ingin kasus Nur Hadi di Surabaya, senasib seperti sejumlah kasus kekerasan yang dialami para pekerja media, dan telah mangkrak (terbengkalai) tak mendapatkan kepastian hukum hingga kini.

Ketua AJI Indonesia, Sasmito mengatakan, hingga hari ini kasus Nur Hadi telah masuk ke polisi, pihaknya berharap agar sesegera mungkin untuk ditindaklanjuti.

“Ini sebenarnya menjadi PR (Pekerjaan Rumah) bagi Kapolri yang baru, dan presiden Joko Widodo sebagai atasan langsung Polri,” ujar Sasmito, kepada KABARTIMUR, Via Telepon, Senin (29/3/2021)

Sebab, ungkap dia, dalam catatan AJI ada beberapa kasus yang sudah dilaporkan, baik di Jakarta, Makassar dan lainnya itu tidak diproses dengan baik oleh penegak hukum (Kepolisian).

“Kasusnya sampai sekarang masih mangkrak di kepolisian. Kita ingin memastikan kejadian yang dialami oleh Nur Hadi di Surabaya, kasusnya ditangani dengan baik oleh kepolisian,” ucap Ketua AJI Indonesia.

Baca Juga :   Diterjunkan Nasdem ke Dapil I untuk DPRPB, Patrix : Bismillah, Gas!

“Sebenarnya menjadi ujian bagi Kapolri, untuk menunjukkan komitmennya apakah dapat membawa kepolisian republik Indonesia, bekerja secara profesional dan menuntaskan kasus kekerasan yang dialami oleh Nur Hadi,” tuturnya.

Sementara itu, Sasmito juga membeberkan, dalam catatan AJI Indonesia, polisi memang selalu menjadi aktor (pelaku) yang memang dominan, melakukan kekerasan terhadap jurnalis.

“Dari segi jumlah, banyak kasus yang melibatkan anggota kepolisian. Ini sebenarnya bukan hanya terjadi di teman-teman Jurnalis, tetapi sektor lainnya banyak kasus yang melibatkan unsur kepolisian,” ungkapnya.

Sehingga, menurut Sasmito, Kapolri sebagai pemimpin tertinggi di kepolisian, harus menunjukkan komitmennya, melakukan reformasi secara internal dan memastikan kasus-kasus kekerasan tidak berhenti.

“Kalau Kapolri tidak mau menuntaskan kasus ini, atau memberhentikan kasusnya sama dengan yang sebelumnya. Maka tentu presiden sebagai atasan polri, harus ikut turun tangan,” tegas Sasmito.

Kalau tidak seperti itu, lanjut dia, maka tetap akan kembali ke Orde Baru. “Yang ada imunitas kekerasan terhadap jurnalis, dan pelakunya tidak pernah diadili di pengadilan,” ungkapnya.

Baca Juga :   Safari Ramadhan,Bupati Harap Umat Islam di Manokwari Bisa Menjadi Penyangga dengan Umat Beragama lainnya

Pada kasus Nur Hadi, ucap dia, harus diproses dan masuk ke pengadilan, dengan pijakan Undang-undang Pers, sebab ada ancaman pidana. “Dan harus di vonis, diselesaikan pengadilan,” pungkasnya.

Selain itu, Wawan, Koordinator AJI Indonesia menambah, pihaknya menyerahkan pendampingan advokasi kasus jurnalis Tempo, Nurhadi kepada teman-teman AJI Surabaya bersama beberapa organisasi.

“Mereka yang mendampingi Nurhadi tergabung dalam Aliansi Anti Kekerasan Terhadap Jurnalis, yang terdiri dari AJI Surabaya, Kontras, LBH Lentera, LBH Pers, dan LBH Surabaya,” tutur Koordinator AJI Indonesia, Via WhatsApp.

Meski demikian, AJI Indonesia bersama 40 AJI Kota di seluruh Indonesia, ikut mendukung pengusutan kasus penganiayaan Nurhadi, agar segera dituntaskan oleh pihak Kepolisian.

“Hari ini, beberapa AJI kota, seperti AJI Surabaya, AJI Jember, dan AJI Kediri, menggelar aksi demonstrasi Luring. Sementara itu, 37 AJI kota lainnya juga menggelar kampanye medsos mendesak penanganan kasus Nurhadi secara online/daring,” kata Wawan.

Baca Juga :   Berbagi di Bulan Suci, Paguyuban Arema Manokwari Santuni Anak Yatim

Harapan dia, ini perlu menjadi catatan penting, bagaimana aparat mesti serius dalam menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis. “Saya kira, kekerasan terhadap jurnalis merupakan preseden buruk bagi bangsa ini, karena jurnalis adalah penyambung aspirasi publik. Melawan pers sama saja dengan melawan hak-hak masyarakat,” pungkasnya.

Tidak hanya itu, jika dilihat dari data, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, kasus kekerasan terhadap wartawan pada 2020 meningkat signifikan ketimbang tahun sebelumnya. LBH Pers mencatat, pada 2020 terjadi 117 kasus kekerasan terhadap wartawan dan media atau meningkat 32 persen dibandingkan pada 2019 (79 kasus).

Dari 117 kasus tersebut, sebanyak 99 kasus terjadi pada wartawan, 12 kasus pada pers mahasiswa, dan 6 kasus pada media, terutama media siber.

Sementara AJI Indonesia mencatat, pada 2020 terjadi 84 kasus kekerasan terhadap wartawan atau bertambah 31 kasus dibandingkan pada 2019 (53 kasus). Pelaku kekerasan paling banyak adalah aparat keamanan.(SR)

Pos terkait