WASIOR – Tradisi sasi sebagai bentuk kearifan lokal masyarakat Papua dalam menjaga kelestarian sumber daya alam diakui memberikan dampak positif bagi kehidupan. Tidak hanya bagi keberlanjutan lingkungan, sasi juga terbukti mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Hal itulah yang kini dirasakan masyarakat Kampung Menarbu Distrik Roon, Kabupaten Teluk Wondama Papua Barat. Kampung kecil di pesisir Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) itu pada 17 Maret lalu melakukan buka sasi laut setelah menutupnya selama 2 tahun. Kawasan laut yang ditutup mencakup area seluas 1.194 hektar.
Sejak sasi laut dibuka, geliat ekonomi masyarakat setempat mulai tumbuh. Warga kini bisa mendapat uang setiap hari. Ikan, lobster, teripang juga hasil laut lainnya yang didapat nelayan semuanya kini menjadi pundi-pundi penghasil rupiah.
Warga juga tidak perlu jauh-jauh mencari pasaran. Transaksi jual beli langsung dilakukan di kampung hanya beberapa saat setelah perahu menepi di pantai. Adalah Badan Usaha Milik Kampung Menarbu sendiri yang diberi nama (BumKam/BumDes) Yenui yang membeli dan menampung hasil tangkapan nelayan setempat.
“Jadi tergantung nelayannya. Dia kalau bawa ikan timbang, dia suruh langsung bayar, ya tong bayar. Tapi dia bilang sabar dulu supaya tambah dulu, simpan dulu nanti baru bayar supaya banyak, itu juga bisa, “ kata Yustus Menarbu, Ketua BumKam Yenui di Wasior, Sabtu lalu.
Yustus mengisahkan sejak sasi laut dibuka, warga Menarbu semakin bersemangat untuk ke laut. Hasil laut yang melimpah mendorong mereka semakin rajin ‘mencari’. Terlebih lagi, hasil tangkapan mereka bisa langsung menjadi uang. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan sebelumnya.
“Masyarakat rasa senang dan sekarang juga dia nikmati hasil yang ada. (Sasi) Cukup bermanfaat bagi mereka juga. Satu malam itu untuk lobster dia bisa dapat 20 sampai 30 kilo. Kalau ikan bisa 40 sampai 45 kilo. Jadi kami rasa senang karena dua tahun ini tutup tapi penghasilan lebih banyak, “ ujar Yustus.
“Dulu sebelum tutup sasi itu agak susah (dapat ikan). Setelah tutup masyarakat rasa kalau melaut tidak lama langsung dapat (hasil). Pasti dapat karena ikan banyak, “lanjutnya.
Bumkam Yenui kemudian menjual kembali hasil tangkapan nelayan sesuai pesanan. Menurut Yustus sejak sasi dibuka pada 17 Maret lalu, di luar dari yang dibeli langsung pengunjung pada saat prosesi buka sasi, pihaknya telah dua kali mengantarkan pesanan ke kota Wasior.
“ Kemarin (Jumat) kitong bawa lobster 20 kilo. Itu di kampung tong terima dari masyarakat 100 ribu satu kilo, jual di Wasior 150 satu kilo. Kalau ikan karang di kampung tong dari BumDes beli ke masyarakat 25 jual, ke Wasior 50 ribu.
Uang yang sudah terkumpul, antar pertama tong dapat 3,8 juta dan kemarin tong antar lagi 4 box itu tong dapat 5,3 juta. Itu campuran lobster dengan ikan, “ tutur Yustus menyebut lobster dan ikan karang menjadi yang paling banyak diminati.
Tidak hanya mengandalkan cerita dari mulut ke mulut, BumKam Yenui yang sejak awal didampingi oleh WWF Indonesia juga memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan hasil laut mereka. Cara itu rupanya cukup efektif untuk mendongkrak pesanan.
Terbukti pasca dua hari mengantar pesanan ke Wasior, pihaknya sudah mendapatkan 40 pesanan baru. Tidak hanya dari kota Wasior, pesanan juga datang dari luar Wondama antara lain dari Manokwari bahkan juga dari Makasar, Sulawesi Selatan.
“ Untuk pasaran ke luar itu dari WWF yang bantu kami untuk cari. Dari Maskasar kemarin menurut ibu Fero (Fero Manohas, aktivis WWF Indonesia di Wasior) ada pesan lobster dan ikan. Jadi saya disuruh kirim ikan satu box dan lobster satu box lewat kapal ekspress, “ sebut Yustus.
Namun demikian dia mengakui ada kendala yang dialami dalam proses pemasaran. Terutama besarnya biasa operasional yang harus mereka keluarkan dalam pengantaran pesanan.
Untuk sekali jalan dari Menarbu ke Wasior pihaknya harus mengeluarkan ongkos mencapai 700 ribu pulang pergi. Biaya itu dipakai untuk pembelian BBM. Belum lagi untuk pengantaran ke rumah pemesan di kota Wasior, mereka harus menyewa mobil.
“Di Wasior memang tidak terlalu untung karena harus pakai mobil lagi. Satu hari kita sewa mobil 500 ribu dan minyak transportasi ke sini 350 jadi PP 700 ribu sehingga hasilnya beda tipis. Harapan kami kalau bisa di kabupaten ini ada penampung sehingga kami dari kampung tinggal drop saja, “ ujar Yustus.
Terlepas dari, Yustus mengaku bersyukur karena lewat penerapan Sasi, dia bersama rekan-rekannya pengelola BumKam Yenui kini mulai bisa memahami manajemen pengelolaan usaha yang baik. Termasuk dalam urusan pembukuan dan pemasaran berbasis teknologi informasi.
Semua ilmu pengelolaan BumDes itu didapatkan dari hasil pendampingan dari WWF Indonesia juga dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung.
“Hasil BumDes rencananya kami simpan dibank. Sekarang sudah ada rekening jadi pesanan bisa dibayar lewat rekening. Kami juga berterima kasih untuk WWF karena selama ini WWF yang dampingi kami untuk kekurangan yang ada, “ ucap Yustus.
Manfaat besar yang kini dirasakan mendorong masyarakat kampung Menarbu untuk terus melakukan sasi Laut. Menurut Yustus, seluruh warga kampung telah sepakat menjadikan sasi sebagai tradisi warisan leluhur yang akan terus dipertahankan.
Warga setempat juga sudah berkomitmen untuk tidak lagi mempergunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Seperti menggunakan putas, jaring, kompresor, apalagi bom ikan. Mereka sepakat tetap memakai alat pancing biasa.
“Kitorang semua sudah rasakan manfaat dari sasi. Sekarang ikan sudah bersahabat dengan manusia. Sampe taruh makanan di tangan juga ikan bisa naik makan. Masyarakat senang karena ikan yang dulu punah itu sekarang sudah kembali lagi, “ pungkas Yustus. (Nday)