WASIOR – Tokoh lintas agama Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat dengan tegas menolak segala bentuk rasisme, intimidasi dan kekerasan untuk tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia.
Merekapun menyerukan masyarakat Papua terutama di Wondama agar tetap memupuk rasa cinta antar sesama manusia dan selalu menjaga kedamaian.
Hal itu menyikapi insiden pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya beberapa waktu lalu yang berujung dengan terjadinya aksi protes yang berujung rusuh di beberapa tempat di Papua dan Papua Barat.
“Dari Teluk Wondama Tanah Peradaban Orang Papua, Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB), Badan Kerjasama Antar Gereja (BKAG), Klasis GKI, Lembaga Masyarakat Adat (LMA), MUI, PHDI dan seluruh masyarakat menolak rasisme, menolak kekerasan dengan tegas. Dan kami hanya cinta damai, “ demikian bunyi pernyataan yang dibacakan Ketua FKUB Teluk Wondama Pendeta Rosalie Wamafma.
Pernyataan itu disampaikan usai digelar pertemuan tokoh lintas agama bersama LMA di kantor Klasis Gereja Kristen Injili (GKI) Wondama di Wasior, Rabu (21/8). Pertemuan yang difasilitasi oleh Klasis GKI Wondama dilakukan sebagai langkah antisipasi agar masyarakat Wondama tidak terprovokasi dengan situasi panas yang sedang terjadi di Manokwari dan daerah lainnya di Papua.
“Karena tujuan kita harus jaga Wondama sebagai Tanah Peradaban. Bukan berarti kita tidak solider tetapi rasa solidaritas itu kita wujudkan dalam bentuk-bentuk yang lebih inklusif, lebih bermartabat dan pesannya lebih mengena, “ ujar Pendeta Ros.
“Jangan sampai kasih yang kita imani dan kasih yang dia harus nyata, dia harus rusak dan tidak terlihat itu di orang lain. Sebagai Tanah Peradaban, kota ini harus punya warna yang berbeda, “ lanjut Ketua Klasis GKI Wondama ini.
Dikatakannya, denominasi gereja di Wondama juga mendesak Kapolri agar mengusut tuntas insiden Surabaya serta memproses hukum semua pihak yang terbukti melakukan tindakan rasial juga perbuatan melawan hukum lainnya.
“Gereja meminta Polri untuk mengusut tuntas kasus Surabaya sehingga tidak berdampak pada masyarakat di Papua tetapi juga studi anak-anak kita di sana. Kita ini bangsa yang majemuk kita harus menghargai perbedaan-perbedaan yang ada dengan tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang melecehkan kemanusian kita, “ tandasnya.
Sesuai rencana, seruan para tokoh agama menolak rasisme dan kekerasan serta terus menjaga rasa cinta damai itu akan dibuat dalam bentuk spanduk dan baliho untuk dipajang pada lokasi-lokasi strategis dalam kota Wasior pada Kamis, besok.
“Menyampaikan pesan moral tidak harus dengan pawai, long march tapi dengan cara-cara yang lebih baik yang tidak menimbulkan hal-hal yang menggangu rasa nyaman, damai di tempat ini. Kita tetap jaga situasi tetap aman dan terkendali supaya kita tetap beraktivitas seperti biasa, “ ujar Pendeta Ros. (Nday)