Pembacaan Psikologis terkait Pindahnya SYL ke Nasdem, Ini Kata Pengamat Psikologi Politik

KABARTIMUR MAKASSAR-Bandul politik di Sulawesi selatan baru saja bergerak, Syahrul Yasin Limpo (SYL) pindah dari Partai Golkar ke Nasdem. Kira-kira, pindahnya SYL ke Nasdem membuat sebagaian orang kaget, sebagiannya lagi biasa saja. Pasalnya sejak SYL masih memimpin Golkar Sulsel, begitu intens godaan Surya Paloh agar SYL mau berpindah dari Golkar ke Nasdem. Apalagi dalam kondisi saat ini, kekuatan SYL sedang melemah di Golkar, tentu tak salah jika menerima tawaran untuk pindah partai dengan prospek yang lebih menjanjikan.   Ada dua hal yang menarik dibicarakan pasca pindahnya SYL ke Nasdem. Pertama, apa untungnya bagi Nasdem? kedua apa untungnya bagi SYL sendiri? Bagi Nasdem Nasdem telah membaca kapasitas personal seorang SYL, Gubernur Sulawesi Selatan dua periode yang memiliki banyak prestasi. Pembangunan di Sulsel tumbuh menggeliat pada masa kepemimpinan SYL.  Pertumbuhan sektor ekonomi sulsel menjadi terbaik kedua Nasional (BPS, 2017) melalui ekspor dan investasi. Pembangunan infrastruktur juga relatif berjalan dengan baik. Sementara, kepemimpinan SYL cukup strategis secara nasional dengan latar belakangnya sebagai Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia. Ke dalam (sulsel) SYL mengantar pada kemajuan, ke luar (Nasional) SYL mampu mengkonsolidasikan visi bersama dengan semua provinsi yang ada di Indonesia. SYL juga mumpuni di bidang akademik dengan beberapa kali perolehan gelar doctor honoris causa, sebut saja misalnya dari Universiti Sultan Zainal Abidin, Malaysia.   Capaian-capaian ini begitu menggairahkan bagi partai politik untuk merekrut SYL, pasalnya tangguh tidaknya sebuah parpol sebagian tercermin dari kapasitas personal kader partainya. Nasdem juga bisa memanfaatkan SYL untuk menambah daya geber, sebagai vote gater (pendulang suara) partai Nasdem di wilayah Indonesia Timur. Lalu yang tak kalah penting, jika ingin diteruskan. Hal di atas menjadi pertimbangan objektif layaknya nama SYL untuk dilempar di bursa capres-cawapres 2019. Kalau SYL diterima di bursa Capres-Cawapres tentu trust publik terhadap partai Nasdem juga  ikut meningkat.   Bagi SYL Dalam amatan psikologi, SYL memiliki motivasi berkuasa yang tinggi. Kita bisa melihat jenjang karirnya sejalan dengan usianya. Jabatannya dimulai sejak muda mulai dari lurah, lalu camat, lalu bupati, lalu wakil gubernur, lalu gubernur dua periode. Selain sebagai gubernur sulsel, juga menjabat sebagai ketua APPSI. Sederhana saja bahwa jabatan ini adalah jabatan publik dan berada di tiap posisi ini adalah niat mulia demi publik, tetapi tentu tidak akan sampai jika tidak dibarengi dengan motivasi intrinsik yang untuk berkuasa. Untuk SYL, motivasi berkuasa tidak menjadi soal, motivasi berkuasa justru memang dibutuhkan politisi, sebagai pemilik “hasrat petarung”. Kabar baiknya, sejauh ini SYL mensyaratkan kinerja yang baik  untuk setiap jabatan yang diembannya. Kalau begini, motivasi berkuasa tidak jadi soal. Sah saja memiliki motivasi berkuasa asal selama masa kekuasaan bisa memajukan kesejahteraan umum.   Pola seperti ini menjadi  amatan psikologis yang melahirkan dugaan bahwa SYL bisa saja pindah partai jika ada peluang lebih besar untuk mendapatkan kekuasaan. Memang, jika pun tetap di Golkar minimal SYL bisa satu gerbong dengan Jokowi di Pilpres 2019. Tetapi Nasdem partai loyalis utama Jokowi, bagi SYL, akan lebih meyakinkan jika paket Jokowi-SYL diusung oleh Nasdem dibanding Golkar. Pun paling banternya, kalau belum memungkinkan jadi Cawapres Jokowi, bagi SYL, ia bisa disiapkan oleh Nasdem untuk menjabat sebagai menteri di kabinet jika ke depan Jokowi kembali terpilih.  (**)

Baca Juga :   Bupati Tana Toraja Garansi Tak Ada Lagi Masalah di Bandara Buntu Kuni

Pos terkait