WAISAI—MUI melaucing buku berjudul moderasi beragama Islam berbasis kearifan lokal di Papua Barat pada Rakernas IV MUI di gedung Pari Convention Center (PCC) Waisai, Raja Ampat, Kamis (22/11/2018) malam.
Komisi Pengkajian dan Peneliti MUI, Dr.Rida Hesti Ratnasari mengatakan, dalam penerbitan buku ini, MUI Pusat bersama MUI Provinsi Papua Barat berkolaborasi dalam menggali moderasi beragama Islam berbasis kearifan lokal di Papua Barat.
MUI Provinsi Papua Barat memfasilitasi pengumpulan data lapangan (field work), sedangkan analisis data hingga penulisan laporan dilaksanakan oleh MUI Pusat.
Penulis adalah Cahyo Pamungkas (LIPI), Rida Hesti Ratnasari (MUI) dan Teguh (Kejaksaan Agung RI) bersama Tim Editor Nadratuzzaman Hosen, Amirsyah Tambunan dan Rofiqul Umam Ahmad (MUI). Tim peneliti adalah Cahyo Pamungkas, Rida Hesti Ratnasari dan Dudi Ramdani (MUI Papua Barat).
Dijelaskan Rida, penulisan buku berbasis riset ini dilakukan sebagai bagian dari upaya menghimpun potensi kemajemukan Bangsa Indonesia.
Di antara berbagai kelompok dan aliran paham keagamaan, ditemukan pentingnya kehadiran kelompok masyarakat sipil (civil society) yang membantu merekat berbagai kelompok ini.
Proses moderasi beragama bukan menggeser pokok-pokok ajaran agama, atau menyamarkan dan atau menghilangkannya. Moderasi beragama membawa spektrum berbagai kelompok yang berseberangan menuju satu titik tengah win-win solution, menang-menang bersama, sebagai solusi, titik ini dikenal sebagai moment produktif, kepentingan lebih besar daripada kepentingan individu dan kelompok tertentu.
Jejak moderasi beragama Islam di Papua Barat digali melalui riset, telah berakar sejak sebelum abad ke-15. Terdapat delapan versi sejarah masuknya Agama Islam di Papua Barat dan sepanjang sejarahnya berabad-abad tidak terjadi konflik keagamaan.
Berikut ini jejak moderasi beragama di Papua Barat yang ditulis dalam buku tersebut, antara lain mushala di Pulau Lemon yang dipindahkan tiga kali, direlakan dengan kebesaran hati umat Islam menghargai kepentingan negara menggunakan lahan mushala untuk perkantoran dan gedung negara lainnya, hingga kini masih berdiri, menjadi masjid bernama Masjid Merdeka di Manokwari.
Masuknya Ottow dan Geisler, penginjil pertama di Papua Barat, pada tahun 1855, difasilitasi oleh Sultan Tidore bersama umat Islam yang berada di Papua Barat.
Reaksi sebagian warga hampir menolak kedua misionaris, dilakukan peran mediasi oleh Sultan Tidore dan umat Islam pengikutnya, hingga diberikan kesempatan dan dipertemukan dengan warga untuk menunaikan tugas misinya. Relief pada dinding bersejarah di Pulau Mansinam menjadi bukti catatan sejarah ini.
Penghormatan terhadap guru misi atas jasa mengajarkan membaca, menulis dan berhitung, sekolah-sekolah yang dalam perkembangannya memiliki peserta didik muslim, guru-guru muslim dan pelajaran agama adalah agama Islam, tetap menggunakan nama Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) dan Katolik (YPKK), tanpa mengubahnya menjadi Yayasan Pendidikan Islam.
“Narasumber penelitian ini menyatakan ini bentuk penghormatan terhadap guru misi yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada nenek moyang mereka dahulu.
Jejak naskah kuna dan peninggalan sejarah Islam di Papua Barat ditemukan lebih dari 84 item menunjukkan bahwa tradisi tulis dalam pembelajaran Islam, telah ada sejak sebelum abad ke-15,” jelasnya.
“Naskah dan peninggalan sejarah jejak moderasi Beragama Islam masih disimpan oleh sebagian ahli waris pendakwah Islam,”sambungnya.
Pilar Moderasi Beragama Islam di Papua Barat dibangun dengan falsafah satu tungku tiga batu, Agama Keluarga, Kepatuhan terhadap Pesan Nenek Moyang, Kebanggaan menyampaikan pesan budi luhur serta tradisi tulis naskah kuna dan peninggalan Islam.
Penulis dalam paparan dalam kegiatan Rakernas MUI memberikan rekomendasi sebagai berikut, pembangunan museum pemeliharaan naskah kuna dan peninggalan sejarah jejak moderasi Beragama Islam di Papua Barat.
Buku Moderasi Beragama Islam Berbasis Kearifan Lokal di Papua Barat dapat dijadikan rujukan dan acuan untuk penyusunan modul pelajaran Agama Islam bagi anak usia dini, SD, SMP dan SMA.
“Penanaman moderasi beragama Islam sejak usia dini sebagai proses pembentukan karakter dasar generasi.
Moderasi Beragama Islam merupakan tiang penopang harmoni kehidupan umat beragama dalam negara kesepakatan (daarul mitsaaq) NKRI,” tuntas Rida.(BSTM)