MANOKWARI- Pada 13 Juni 2001 silam sekitar pukul 03:00 wit terjadi penyerangan oleh sekelompok orang sipil bersenjata terhadap Pos Keamanan Cv.Vatika Papuana Perkasa di Kampung Wondoboy-Distrik Wasior-Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua.
Menurut data yang disampaikan oleh Kontak Person LP3BH di Wasior bahwa kelompok tersebut dipimpin oleh Daniel Awom (alm.) dan Otis Koridama (alm). Akibat serangan tersebut jatuh korban 5 (lima) orang anggota Brimob yang bertugas menjaga keamanan di perusahaan penebangan kayu (logging company) tersebut tewas dan juga seorang karyawan perusahaan tersebut ikut tewas.
Kelompok penyerang juga membawa lari senjata api jenis SS-1 milik anggota Brimob tersebut. Pasca serangan itu, Kapolda Papua (ketika itu) Brigjen Pol.I Made Mangku Pastika untuk memerintahkan pengejaran terhadap kelompok Daniel Awom tersebut untuk merampas kembali senjata api milik Polri.
Operasi di Wasior kala itu (13 Juni 2001) sore hari dipimpin langsung oleh Mayor Polisi Tavip Yulianto (Wakapolres Manokwari red). Dikendalikan langsung oleh Kapolres Manokwari waktu itu, Letkol Polisi Bambang Budi Santoso.” kata Yan Warinussy Direktur LP3BH Manokwari dalam catatan kelam penuntasan HAM Wasior Berdarah.
Dalam operasi tersebut ditunjang oleh personil Brimob dari Biak dan Jayapura. Kemudian melakukan serangkaian tindakan pengejaran yang justru diduga keras telah menyasar warga sipil di sejumlah kampung di sekitar Teluk Wondama. Akibatnya, banyak warga sipil yang diduga keras mengalami tindakan penangkapan, penyiksaan bahkan penganiayaan di luar proses hukum.
“Diduga keras juga terjadi tindakan pembunuhan kilat (summary execution) serta pemerkosaan (rape) dan atau kekerasan seksual bahkan penghilangan orang secara paksa. Semua ini terjadi pada saat Negara Indonesia telah melalui reformasi demokrasi.” Ujarnya.
Bahkan setelah Indonesia memiliki Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan juga Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sehingga menurut amanat pasal 104 UU RI No.39 Tahun 1999 dan Pasal 4 UU RI No.26 Tahun 2000,
Warinussy menuturkan bahwa menurut pandangan sebagai Advokat dan Pembela HAM, kasus dugaan pelanggaraan HAM Berat di Wasior tahun 2001 tersebut sangat layak dan memenuhi unsur untuk diadili di Pengadilan HAM karena di dalam operasi keamanan yang dipimpin langsung oleh Kapolres Manokwari ketika itu Bambang Budi Santoso dan dilaksanakan di bawah kendali Kapolda Papua I Made Mangku Pastika.
Diduga keras telah terjadi pelanggaran HAM Berat berbentuk tindakan penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, pemerkosaan, pembunuhan kilat dan penganiayaan berat dan penahanan sewenang-wenang di luar prosedur hukum yang diatur dalam UU No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Warinussy menguraikan bahwa pada tahun 2003 (tiga tahun setelah peristiwa Wasior) barulah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Wasior. Komisi ini dipimpin waktu itu oleh Hasbullah untuk menyelidik tentang dugaan pelanggaran HAM Berat pada peristiwa Wasior sesuai amanat pasal 18, 19 dan 20 UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
“Namun sangat disayangkan karena sesungguhnya Komnas HAM sudah memenuhi seluruh syarat penyelidikan terhadap peristiwa Wasior dan diajukan berulang kali kepada Jaksa Agung selaku penyidik menurut amanat pasal 20 dan pasal 21 UU Pengadilan HAM tersebut.
Warinussy menyebut bahwa sudah berulangkali Jaksa Agung mengembalikan berkas perkara penyelidikan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat Wasior dengan alasan kurang bukti dan belum menjelaskan pemenuhan unsur-unsur pelanggaran HAM yang Berat.
“Berkenaan dengan itu, sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, saya memandang bahwa negara melalui Jaksa Agung RI sesungguhnya sedang berusaha menafikan adanya dugaan Pelanggaraan HAM Berat yang terungkap jelas dalam hasil penyelidikan Komnas HAM atas peristiwa Wasior 2001 tersebut.” katanya
Warinussy menilai Presiden RI Joko Widodo sama sekali tidak memiliki kemauan baik untuk menyelesaikan Kasus Dugaan Pelanggaran HAM Berat Wasior secara hukum. Sehingga menurut pandangan hukumnya, perlu dilakukan langkah hukum oleh para korban dan keluarga korban Kasus Wasior untuk mendesak keterlibatan dunia internasional dalam mendorong upaya penyelesaian kasus Wasior melalui mekanisme internasional.(AD)