Manokwari, kabartimur.com– Dosen/Dekan Fakultas Hukum Universitas Caritas Indonesia, Dr. Henrikus Renjaan, SH., LL.M, menilai terkait Kontroversi /perdebatan Ketentuan Pasal 12 Ayat 11 RUU KUHAP, yang mengatur bahwa jika dalam waktu 14 hari laporan masyarakat tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian, masyarakat dapat langsung mengajukan laporan kepada kejaksaan.
” seharusnya dimaknai sebagai upaya refleksi penegakan hukum (penangan perkara tindak pidana) di negeri ini yang menurut hemat saya ketentuan tersebut tidak hanya belaku bagi kepolisian saja tetapi juga berlaku bagi Kejaksaan apabil dalam waktu 14 hari tidak menindaklanjuti laporan masayarakat” jelas Henrikus.
Menurutnya, Semangat dari ketentuan tersebut perlu dimaknai sebagai upaya penerapan asas peradilan murah dan cepat adalah asas peradilan yang bertujuan untuk menyelesaikan perkara dengan biaya terjangkau, cepat, dan sederhana, meningat asas ini juga merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia seiap warga negara dalam mencari keadilan di negeri ini.
Disisi lain kata Henrikus dimaknai sebaga Upaya penegakan Asas kepastian hukum yang meruapakan nilai dasar hukum yang menjamin bahwa hukum dibuat dengan jelas dan dapat diakses oleh seluruh warga negara yang mencari keadilan di negeri ini sebagai negara hukum.
Selanjutnya terkait kontroversi penerapan asas ‘dominus litis’ oleh kejaksaan? Menurutnya, asas dominus litis, dalam tahap Penuntutan mutlak menjadi kewenngan jaksa megingat Penuntut Umum menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki dan memonopoli penuntutan dan penyelesaian perkara pidana.
“Hakim tak dapat meminta supaya perkara pidana yang terjadi diajukan kepadanya. Sebab Hakim dalam penyelesaian perkara hanya bersifat pasif dan menunggu tuntutan dari penuntut umum” Terangnya..
Ia menambahkan, Asas ini otomatis menempatkan Penuntut Umum selaku pengendali perkara. Artinya, dapat atau tidaknya dilakukan penuntutan terhadap suatu perkara tindak pidana hasil penyidikan (oleh Penyidik) adalah mutlak wewenang Penuntut Umum.
Begitu pula Penuntut Umum dapat menghentikan penuntutan dengan alasan tidak cukup bukti, peristiwanya bukan tindak pidana, dan perkaranya ditutup demi hukum.
Begitupun baik Jaksa (dalam perkara tindak pindana yang menjadi kewenangannya, misalnya tindak pinda khusus) ataupun Polisi (tindak pidana umum/khusus dll), keduanya jika dalam kapasitas sebagai Penyidik pada Tahap Penyelidikan dan Penyidikan suatu perkara tindak pidana, berdasarkan KUHAP sama-sama mempunyai kewenangan menerapkan Asas dominus litis.
Terkait perdebatan ini, Henrikus menilai bahwa penerpaan Asas dominus litis yang menempatkan jaksa sebagai pihak yang menentukan apakah suatu perkara layak dilanjutkan ke pengadilan atau dihentikan tentunya akan mengambil alih kewenangan kepolisian dalam mengungkap dan menghentikan suatu perkara sudah tepat apabila perkara tindak pidana tersebut sudah masuk dalam ranah Penuntutan.
Selanjutnya Polisi dalam kapasitas sebagai Penyidik pada Tahapan Penyelidikan dan Penyidikan suatu perkara tindak pidana, berdasarkan KUHAP juga mempunyai kewenangan menerapkan Asas dominus litis, yang menempatkan Polisi sebagai penyidik/pihak yang menentukan apakah suatu perkara layak dilanjutkan ke tahap penunututan/ atau dihentikan dengan menerbitkan (SP3).
“Jadi intinya Asas dominus litis, dapat diterapkan oleh jaksa dan Polisi sesuai kewenangan/otoritas masing2 dalam penangan perkara sesua tahapan yang sudah diatur dalam KUHAP. Jika ini dijalankan kedua institusi tersebut dengan benar maka tidak tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum” Tandasnya.
Disamping itu, Terkait RKUHAP usulan dari kejaksaan untuk memasukan asas Dominus litis akan bisa berpotensi akan adanya tumpang tindih kewenangan serta ketegangan antara Kejaksaan dan Polri serta berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang akibat kewenangan yg berlebihan pada institusi Kejaksaan. (Red/*)