Jabat Tangan dan Berpelukan, Perseteruan Masyarakat Adat Naikere-Muri Berakhir Damai

WASIOR – Perseteruan yang melibatkan masyarakat adat di Distrik Naikere Kabupaten Teluk Wondama dengan Kampung Muri, Distrik Yamor Kabupaten Kaimana yang berujung pada penganiayaan terhadap kepala kampung Muri berakhir damai.

Kedua belah pihak sepakat menyelesaikan perselisihan di antara mereka secara kekeluargaan.

Jitro Samiata, Kepala Kampung Muri yang juga kepala suku Miere  yang merupakan korban penganiayaan setuju untuk tidak memperpanjang perseteruan dengan kelompok masyarakat suku Mairasi dari Naikere.

Sementara para pelaku penganiayaan yang diwakili Kepala Kampung Sararti Distrik Naikere Absalom Natama mengaku salah karena telah melakukan tindakan penganiayaan.

Absalom pun meminta maaf dan mengakui apa yang dilakukan para pemuda di Naikere berlebihan dan tidak sepantasnya dilakukan.

Apalagi masyarakat adat Suku Mairasi dan Miere sesungguhnya merupakan saudara serumpun yang hidup dan menetap di atas wilayah adat yang sama yakni dataran Naikere hingga Muri.

Kesepakatan itu tercapai setelah dilakukan mediasi Rabu (25/1) di Gedung Sasana Karya Kantor Bupati Teluk Wondama di Isei.

Mediasi yang diinisiasi oleh Polres Teluk Wondama melibatkan Pemkab Teluk Wondama, Dewan Adat Papua (DAP) Daerah Wondama juga tokoh lintas agama.

Baca Juga :   Cegah COVID-19, Tim Gabungan Lakukan Penyemprotan Disinfektan di Kota Wasior

Ikut terlibat kepala distrik Naikere bersama para kepala kampung serta perwakilan masyarakat adat dari kedua belah pihak.

Hadir dalam mediasi Bupati Teluk Wondama Hendrik Mambor, Kapolres AKBP Hari Sutanto, Ketua DAP Daerah Wondama Adrian Worengga, Ketua Klasis GKI Wondama Pendeta Antipas Paririe, Ketua BKAG Pendeta Mardianto Tungga dan Ketua MUI Teluk Wondama H. Abudin Ohoimas.

Pada kesempatan itu, atas saran semua pihak yang hadir, kedua pihak akhirnya sepakat berdamai dan saling berjabat tangan. Mereka juga menandatangani pernyataan bersama untuk tidak melakukan tindakan sepihak kepada siapapun baik secara fisik maupun verbal.

“Mewakili adik-adik saya, saya kepala kampung Sararti mengakui telah berbuat salah dan memohon maaf kepada bapak Jitro. Kami akan menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan, “ucap  Natama.

Sebelumnya pada 19 Januari lalu terjadi pemukulan terhadap Jitro Samiata oleh sekelompok pemuda dari Kampung Sararti Distrik Naikere. Tepatnya di kawasan Simpang Goro, Distrik Naikere.

Aksi tidak terpuji itu dipicu oleh kesalahpahaman terkait rencana pembangunan rumah khusus sebanyak 50 unit bantuan dari Pemerintah Pusat yang sedianya diletakkan di kawasan Simpang Goro.

Baca Juga :   BLK Teluk Wondama Beroperasi Setelah 17 Tahun ‘Nganggur’, Bupati Imbau Anak Muda Tidak Mengandalkan Jadi PNS

Simpang Goro merupakan percabangan jalan Trans Papua-Papua Barat yang menghubungkan Teluk Wondama – Kabupaten Manokwari – Kabupaten Nabire, Provinsi Papua.

Jitro lantas melaporkan tindakan penganiayaan itu ke Polres Teluk Wondama. Polisi kemudian mengamankan dan menahan 6 orang pemuda Naikere yang melakukan penganiayaan.

Ketua DAP Wondama Adrian Worengga mengatakan pihaknya sangat menyesalkan tindakan penganiayaan terhadap salah satu kepala suku Miere di Kampung Muri.

Hal itu seharusnya tidak boleh terjadi karena masing-masing pihak sesungguhnya telah mengetahui secara jelas batas wilayah adat masing-masing.

“Lembaga adat sangat menyesalkan adanya pemukulan seperti ini. Seharusnya ini tidak boleh terjadi. Kami harapkan ini yang terakhir, tidak boleh terjadi lagi. Kita semua ini anak adat yang tahu menyelesaikan permasalahan dengan beradab, “ kata Worengga.

Bupati Hendrik Mambor mengatakan dirinya telah mengetahui perihal rencana pembangunan rumah khusus sebanyak 50 unit yang kabarnya merupakan bantuan dari pemerintah pusat.

Baca Juga :   Pj Gubernur Papua Barat Melantik Dance Sangkek Sebagai Plt Sekda 

Mambor lantas menyarankan lokasinya di Simpang Goro karena dipandang kawasan itu strategis untuk dikembangkan menjadi kawasan pertumbuhan baru di masa depan.

“Saya memang berpikiran perlu ada kampung di Simpang Goro karena kawasan itu masih kosong. Dan tempat itu memang strategis makanya perlu ada pembangunan rumah yang banyak untuk mempercepat pembentukan kampung,”

“Tapi itu masih wacana pribadi saya, belum dikomunikasan dengan Dinas Pemberdayaan Kampung maupun Bagian Tata Pemerintahan, “jelas Mambor.

Bupati pun berpesan agar setiap permasalahan yang timbul agar diselesaikan secara baik-baik dengan cara yang santun. “Saya berharap kalau ada masalah dibicarakan baik-baik, “ pesan bupati.

Ditemui usai mediasi, Kapolres Hari Sutanto belum memastikan apakah proses hukum terhadap para pelaku penganiayaan akan dihentikan pasca tercapainya kesepakatan damai di antara para pihak yang berseteru.

“Kita tunggu dari pihak korban dulu. Kalau setuju (dicabut laporannya) maka bisa (dihentikan). Makanya ini kita sama-sama (dengan korban dan kerabatnya) ke Polres dulu, “kata Kapolres yang baru bertugas sekitar 3 minggu di Wondama. (Nday)

Pos terkait